Jumat, 02 Agustus 2013

Dominan - Submissive Bab 1



“Anna,” wanita setengah baya itu kembali membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan pulpen yang kupegang terjatuh ke atas karpet. Dengan gugup aku mengambilnya kembali. Tanganku begitu bergemetar, jantungku berdetak tak menentu. Mataku rasanya juling saat aku melihat kertas perjanjian yang berada di hadapanku. Di atas meja kayu dengan ukiran yang begitu indah. Aku tidak percaya orang tuaku meninggalkanku dan memberikanku kepada keluarga seperti ini. Keluarga yang sangat terkenal di US. Ini bukan aku. Itulah alasan mengapa meninggalkanku. Mereka tahu, mereka tidak akan bisa memberikan aku kehidupan yang layak maka ia memberikan aku, menginginkan aku menikah dengan lelaki ini. Lelaki yang belum tentu aku bisa menyukainya. Kapan mereka mengenal keluarga ini? Aku tidak pernah bisa mengingatnya. Ini begitu rumit. Sekali goresan tanda tangan di surat perjanjian ini, kehidupanku akan berubah total.
            Mulai dari pakaian, tubuhku, bahkan tempat tinggalku akan berubah. Aku tidak perlu membanting tulang lagi di rumah makan yang kumuh. Bahkan gaji yang kuterima tidak dapat mencukupi kehidupanku. Kutatapi mata cokelat wanita setengah baya, calon ibu iparku. Ia tersenyum manis dan terus memaksaku untuk menandatangani perjanjian ini. Anna Victoria Whitford – Anna Victoria Bieber. Entah mengapa judul dari surat perjanjian ini harus bernamakan Bieber di bagian belakang namaku. Aku bahkan belum menandatangani apa pun.
            “Anna, orang tuamu telah memberikanmu kepada kami. Bahkan kami sudah terlambat untuk mengambilmu, sayang. Berapa umurmu lagi?” tanya wanita setengah baya bernama Pattie ini padaku.
            “19 tahun,”
            “Kami telah dua tahun. Seharusnya kami mengambilmu saat umurmu 17 tahun. Saat kau benar-benar lulus dari sekolahmu. Kapan orang tuamu meninggalkanmu?”
            “15 tahun?” aku bertanya padanya karena aku kurang yakin. Aku kurang yakin karena sebelumnya aku kecelakaan sehingga memori dalam jangka waktu yang singkat kulupakan. Saat itu aku kecelakaan, orang tuaku juga kecelakaan. Tapi aku terbangun di sebuah rumah sakit dan aku tidak tahu di mana keberadaan mereka. Sehingga aku hidup sebatang kara di dunia ini. Aku tidak memiliki sepupu atau siapa pun. Ini sungguh mengerikan. Aku hanya memiliki satu sahabat.
            “Siapa yang mengurusimu selama 4 tahun?”
            “Aku mengurusi diriku sendiri. Aku tidak melanjutkan sekolah juga. Ada apa dengan perjanjian ini?” tanyaku penasaran. Karena di surat perjanjian tidak dituliskan alasan mengapa aku harus menandatangani surat ini. Dan mengapa aku harus bersama dengan keluarga Bieber.
            “Ini adalah perjanjianku dengan orang tuamu. Tapi, Anna, kau benar-benar harus menandatangani surat perjanjian ini demi kelangsungan hidupmu,” ujarnya meyakinkanku. Kulihat suaminya yang terduduk di sebelahnya, tampak tidak peduli dengan perjanjian ini. Justru dari tadi ia memainkan iPad yang berada di tangannya dan mendecak kesal berkali-kali. Entah apa yang ia lakukan.
            Kemudian otakku terputar kembali. Kathleen. Sahabatku yang selama ini tinggal bersamaku selama 4 tahun. Dia yang membantuku untuk mencari pekerjaan. Dia sebenarnya mempunyai orang tua, tapi ia melarikan diri. Umurnya berbeda 4 tahun denganku, sehingga sekarang ia berumur 24 tahun. Ia orang yang sangat baik. Aku bertemu dengannya di rumah sakit juga. Aku akan menceritakannya nanti. Intinya aku memikirkan, bagaimana keadaannya nanti jika aku meninggalkannya. Di sini tertulis jika aku telah menandatangani surat perjanjian ini, aku sudah sepenuhnya milik dari Justin Bieber. Anak tunggal mereka. Aku bahkan belum melihat batang hidungnya atau pun foto dari lelak ini. Aku memang tidak tahu lelak ini sama sekali.
            “Bagaimana dengan sahabatku?” tanyaku hati-hati.
            “Kathleen? Dia akan baik-baik saja,” ujarnya dengan mantap. Tapi aku menatapnya dengan keraguan, “Aku berjanji. Dia akan baik-baik saja. Sekarang masalahnya adalah kau harus menandatangani surat perjanjian ini,” tambahnya lagi.
            “Baiklah,” ujarku dengan pasrah dan mulai menempelkan ujung pulpen untuk menggoreskan tanda tanganku di atas kertas ini. Di mana aku menjadi milik Justin Bieber mulai detik ini, sekarang, dan sampai selamanya. Pernikahan. Aku akan menikah dengannya. Aku akan menikah dengan seorang Millioner.
            “Bagus.”
            Lalu semuanya terjadi.


****

            “M-Mr. Bieber?” aku benar-benar terperangah dengan keindahan yang berada di depanku sekarang. Seorang lelaki berwajah indah dengan pahatan yang benar-benar cocok sekali dengan tubuh tegapnya, memakai setelan pakaian formal untuk bekerja, sepatunya mengkilap, dan matanya .. benar-benar indah. Aku tidak percaya kalau ia akan datang ke rumahku secepat ini. Bukan rumahku, tapi rumah Kathleen. Kathleen tidak ada di rumah sehingga aku harus menyiapkan baju sendirian. Malam ini aku akan pergi ke rumah Justin. Rumah Justin Bieber, seorang Millioner. Aku benar-benar terpaku dengan keindahan yang kulihat. Rambutnya yang berwarna cokelat membuatku menelan ludah. Oh, Tuhan! Aku tidak tahu kalau Kau akan memberikan padaku lelaki tampan seperti Dewa ini.
            “Apa kau akan membiarkanku berada di luar terus menerus?” tegurnya setelah beberapa menit membuatku terpaku. Aku tersadar dan langsung melebarkan pintu yang kubuka sehingga ia bisa masuk. Ketukan kakinya terdengar saat ia melangkah masuk ke dalam rumah Kathleen. Kemudian, inilah dia. Aku benar-benar malu. Rumah ini hanyalah rumah biasa.
            Bagian pertama yang kalian akan lihat adalah ruang tamu. Tiga kursi, satu meja. Rumah ini hanya memiliki dua kamar, satu dapur, dan satu gudang. Tidak terlalu besar. Ini hampir sama seperti apartemen. Tapi Kathleen membelinya. Dan kami akhirnya tinggal di sini.
            “Kau boleh duduk,” ujarku sambil mendorong pintu agar tertutup, tapi tiba-tiba seseorang menahannya. Aku mendongak dan melihat seorang lelaki bertubuh besar berdiri dengan kacamata hitam yang ia pakai. Kulitnya berwarna cokelat manis, orang Indian. Ia menggeram padaku. Siapa lelak ini? Kurasa ia adalah pengawal Justin.
            “Masuk saja, tidak apa-apa,” ujar Justin dengan santai. Apa? Apa yang baru saja ia katakan? Baiklah, tidak apa-apa. Aku melebarkan bukaan pintuku agar tubuhnya yang besar bisa masuk ke dalam rumahku yang kecil. Ia masuk dan berdiri di samping pintu dan posisi kaki yang melebar dan kedua tangan di belakang, entah apa yang ia lihat, yang pasti ia memandang ke depan.
            Kututup pintu rumahku dan mulai menatap Justin dan pengawalnya secara bergantian.
            “Jadi, kau Anna, eh?” tanya Justin yang tidak duduk di atas kursi. Mungkin ia tidak ingin duduk. Kemudian ia membenarkan dasi yang ia pakai. Kuanggukan kepalaku dan mulai bersandar pada tembok. Aku tidak tahu, tapi aku tidak terintimidasi akan kedatangannya. Seakan-akan ia adalah teman lamaku yang akhirnya bertemu denganku.
            “Kau sangat ..kotor. Apa kau sudah selesai membereskan pakaianmu? Karena malam ini, aku tidak punya banyak waktu,” ujarnya dengan tegas. Aku menganggukan kepalaku. Kemudian melangkahkan kakiku menuju kamarku. Sialan. Apa yang baru saja ia katakan? Aku kotor? Justru ini adalah penampilan terbersihku yang pernah kulakukan. Dan ia bilang aku kotor? Astaga, Justin sangat jujur. Aku mulai mengambil dua koper yang ada sudah siap.
            Baiklah, aku akan memulai hidup yang baru. Kuhirup nafasku.


***

            “Max, kau boleh pergi,” ujar Justin saat kami sudah berada di dalam kamar Justin. Ternyata namanya Max. Rumah Justin lebih besar dibanding dengan rumah orang tuanya. Kamarnya saja sudah seperti satu rumah Kathleen. Oh, Kathleen. Semoga ia benar baik-baik saja di rumah nanti. Aku sudah mengiriminya pesan melalui ponselku. Max menutup pintu kami setelah ia menaruh kedua koperku.
            Kemudian terjadi keheningan yang sangat panjang.
            “Anna, apa aku boleh bertanya padamu?” tanyanya mulai melangkahkan kakinya menuju tempat tidurnya yang besar itu. Aku berdiri di tengah-tengah kamarnya dan mengangguk. Kali ini ia mengintimidasiku. Jantungku berdetak dengan kencang. Ini sekarang adalah kamarku. Atau apa? Aku tidak tahu. Justin terduduk di atas tempat tidur dan ia melepas sepatu dan kaos kakinya.
            “Anna, apa kau tahu aku siapa?” tanya Justin.
            “Kau Justin Bieber?” tanyaku tampak bodoh. Oh, sial! Mengapa sekarang aku benar-benar gugup? Tubuhku menggigil seketika. Kedinginan mulai menerpa tubuhku hingga aku merasa mereka menusuk tulangku. Justin melepas dasinya dan mulai mendongak, menatapku. Ia menyeringai. Astaga, dia menyeringai. Dan itu membuat meleleh.
            “Ya, tentu saja aku Justin Bieber. Maksudku, yang lebih spesifik. Apa kau tahu pekerjaanku? Apa kau tahu kalau aku adalah seorang Millioner?” tanya Justin menyiratkan kesombongan. Aku tidak tahu dia. Aku baru saja bertemu dengannya malam ini. Aku hanya tahu namanya dan ia menyandang gelar Millioner. Terbukti dari rumahnya yang benar-benar besar. Pintu gerbangnya saja terbuat dari baja dan sangat menjulang tinggi. Terbuka otomatis saat mobil Justin sudah berada di depan gerbangnya. Memiliki kamera pengintai di mana-mana. Taman depan miliknya benar-benar luas. Dan berakhir dengan rumah yang benar-benar besar. Meski aku belum tahu seluk beluk rumah ini, tapi aku yakin kalau aku membutuhkan sebuah peta untuk menelusurinya.  Sebenarnya, rumahnya lebih mengarah ke bangunan Belanda. Sehingga ada kesan yang kuno di rumah ini. Tapi aku menyukainya.
            “Aku tidak tahu,”
            “Katakan padaku, Anna. Mengapa kau menanda tangani surat sialan itu?” Woah! Justin Bieber berbicara kotor di depanku untuk yang pertama kalinya. Aku tidak tahu mengapa sekarang wajahnya menyiratkan kesuraman.
            “Karena orang tuaku juga telah menanda tanganinya juga,” ujarku asal. Oh, tidak. Aku tahu itu bukan jawaban yang ia harapkan. Tapi kemudian ia berdiri dari tempatnya dan mulai membuka kancing kemeja. Oh, sial! Aku akan meleleh melihatnya. Kumohon, jangan buka baju di depanku! Mungkin ini akan menjadi yang pertama kalinya aku melihat seorang lelaki yang terbuka padaku. Secar langsung dan personal. Baiklah, mungkin dia adalah lelaki yang kedua.
            “Alasan yang cukup bagus. Anna, kemarilah,” ia sudah melebarkan tangannya, membukanya untukku. Ia ingin memelukku. Dan ia hanya memakai kemeja putih yang seluruh kancingnya terbuka. Untungnya ia memakai kaos dalam. Dengan ragu, aku melangkahkan kakiku padanya. Namun dengan cepat, ia meraup tubuhku untuk ia peluk.
            “Kau gadis manis yang mungil. Tapi sayang, aku tidak tahu apa ini akan berjalan dengan baik atau tidak,” ujar Justin dengan pelan. Membuatku benar-benar bingung dengan ucapannya. Tidak berjalan dengan baik? Kita bahkan belum mengenal diri kita satu sama lain. Bagaimana bisa ia tahu kalau ia tidak akan berjalan dengan baik?
            “Kita akan menikah besok. Percayakah kau dengan sebuah hubungan Anna?” tanya Justin dengan ragu dan menarikku untuk berada dalam pangkuannya saat ia berjalan mundur lalu terduduk di atas tempat tidur. Aku sudah berada di pangkuannya. Tangannya memegang pahaku agar aku tetap berada dalam pangkuannya. Refleks aku mulai memeluk lehernya.
            “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berpacaran sebelumnya,”
            “Kau tidak pernah?” Kuanggukan kepalaku.
            “Mengejutkan. Tapi, Anna, bagaimana kau mendefinisikan sebuah hubungan? Apa artinya bagimu?” tanyanya yang membuatku semakin bingung ke arah mana ia berbicara. Karena dari tadi ia seperti bertele-tele. Mengapa ia harus begitu banyak pertanyaan untukku. Kupikir ia akan sibuk malam ini. Aku sangat yakin ia sibuk. Karena selama perjalanan menuju rumah ini, ponselnya tidak pernah tidak berdering. Mungkin hanya beberapa menit hening, kemudian deringan telepon masuk dari ponselnya. Bieber, Bieber, Bieber. Ia menyebutkan namanya saat ia menjawab sebuah telepon. Aku terkesan. Oh, aku benar-benar norak sekarang!
            “Dua orang yang saling mencintai dan menghasilkan sebuah hubungan?” tanyaku dengan ragu. Aku benar-benar tidak ingin membicarakan ini karena topik pembicaraan ini sangat aneh. Aku bahkan tidak percaya kalau sekarang aku sedang berada di atas pangkuannya. Padahal kita baru saja bertemu. Oh, Tuhan. Aku selalu merasa bimbang dan tidak tahu apa yang kupikirkan sekarang. Keadaan ini benar-benar tidak mendukung apa pun. Dia bahkan hanya bisa membuatku terkesan dengan ketampanannya saja. Tapi tidak dengan sikapnya yang aneh. Maksudku, bisakah ia berbasa-basi? Seperti apa kesukaanku atau apalah. Tapi dia bertanya satu hal yang tidak pernah kulakukan dalam hidupku. Apakah aku percaya akan sebuah hubungan? Maksud pertanyaan ini apa?
            “Anna,” panggilnya. Aku mendongak setelah dari tadi aku hanya melihat kuku-kuku yang berwarna merah muda. Mataku langsung bertemu dengan matanya yang berwarna cokelat. Baiklah, aku berharap ingin mati. Kemudian bibirnya menyentuh bibirku. Aku terdiam, tidak tersentak, tapi aku terkejut dalam hati. Ia mengecup bibirku. Lama sekali. Kemudian ia melepaskannya, ia membuka matanya dan menatapku dengan senyum di bibirnya.
            “Rasamu sangat manis,” ujarnya mengelus kepalaku. Aku terdiam.
            “Kau pendiam eh,” ia menegurku. Aku menggelengkan kepalaku. Sebelumnya, aku bukan seorang yang pendiam. Sebenarnya aku adalah orang yang sangat ceria. Itu jika aku bersama dengan Kathleen. Tapi dengan Justin, aku merasakan aura-aura hitam yang tidak menyenangkan. Tapi entahlah, melihat matanya aku langsung meleleh.
            “Tidak juga,” ujarku dengan suara yang pelan.
            “Lalu mengapa kau tidak menanyakan sesuatu padaku? Aku yakin aku bisa menjawabnya,”
            “Apa yang kau suka Justin?” tanyaku langsung. Matanya melebar, bibirnya terkatup rapat, namun sedetik kemudian ia tersenyum manis. Tapi aku hanya memberikan wajah datar padanya. Poker face.
            “Aku menyukai wanita,” ujarnya meremas pahaku. Oh, apa yang akan ia lakukan padaku?
            “Apa lagi?” tanyaku ingin tahu.
            “Aku suka bercinta dengan wanita,” ujarnya menyeringai padaku dan mengecup bibirku sekali lagi dengan kilat. “Bercinta dengan keras, kadang lembut. Apa kau mau menjadi salah satu di antara mereka, Anna?” tanyanya yang membuatku terkesiap. Apa-apaan?!

***

            “Mr. Bieber!” seru seorang lelaki yang mengarah kepada kami berdua. Acara sore ini sangat meriah. Aku tidak tahu kalau pernikahan ini akan sebegitu mewah, seharusnya aku menebaknya dari awal. Aku memakai gaun termahal yang pernah kupakai, ini adalah yang pertama kalinya aku tampil bersih dan cantik. Rambut hitamku digerai menggelombang, seluruhnya dikesampingkan ke bahu kananku. Sehingga pundak sebelah kiriku terlihat. Aku suka gaun berwarna abu-abu mengkilap ini. Tubuhku begitu tercetak namun aku tidak suka dengan potongan rendah dadanya. Aku tahu, aku tidak memiliki belahan dada. Tapi sungguh, jika aku berhadapan dengan lelaki, aku yakin, mereka melihat ke arah dadaku yang cukup menyembul. Ukuran dadaku pas dengan ukuran tubuhku. Tidak besar tapi juga tidak kecil. Dan selama pesta pernikahan berlangsung, kakiku bersungut-sungut untuk beristirahat. Tapi dimana? Kami adalah tuan rumah, atau lebih tepatnya Justin adalah tuan rumah dan dia harus memamerkanku kepada rekan-rekan kerjanya.
            Seperti sekarang ini. Aku melihat seorang lelaki bertubuh besar dengan setelan pakaian yang begitu rapi. Ia memakai rompi hitam yang dilapisi dengan jas berwarna hitam juga. Tapi perutnya benar-benar menyembul. Ia memiliki jenggot yang tidak terurus, mungkin, aku bisa membuat kepangan di jenggotnya. Mungkin. Kuurungkan niatan untuk mengkepang jenggotnya saat ia tersenyum padaku. Ia sungguh murah senyum dan kurasa ia lelaki yang sangat ramah.
            “Jadi, ini istrimu, eh?” tanyanya dengan nada seperti pengusaha-pengusaha lainnya. Sama seperti Justin yang kalau bertanya kadang berakhiran dengan ‘eh’. Dan itu cukup mengganggu telingaku. Ia terdengar mengejekku. Justin yang berada di sebelahku langsung menarik pinggangku dan meremasnya. Oh, sial. Mengapa ia suka sekali meremas pundak, tangan, pinggul, pinggang, apalagi? Bokong, mungkin.
            “Ya, wanita manis yang mungil ini adalah milikku, Bryant. Anna, ini Bryant. Rekan kerjaku,” ujar Justin memperkenalkan temannya. Dengan sopan aku menjulurkan tanganku padanya. Tapi selama beberapa detik aku menunggu tangannya menjabat tanganku, aku menariknya kembali. Mengapa ia terlihat tidak sopan?
            “Kau tampak cantik dan muda, Mrs. Bieber. Tapi maaf, Mrs. Bieber. Aku tidak terbiasa dengan berjabat tangan. Aku orang yang sangat steril,” ujarnya yang membuatku sedikit tersinggung. Dia? Steril? Bunuh saja aku. Well, mungkin ya, dia bisa dikatakan steril dengan gaya berpakaiannya. Dan dari tadi ia memegang sapu tangan. Mungkin itu berguna untuk membersihkan sesuatu. Apa dia terserang penyakit OCD (= Penyakit kebersihan yang berlebihan)? Mungkin. Aku tak peduli.
            “Yah, Bryant, silahkan bersenang-senang di pestaku. Kuharap kau melakukannya,” usir Justin dengan pemilihan kata yang sopan dan benar. Bryant menganggukan kepalanya dan berpaling dari hadapan kami. Oh, kupikir menjadi tuan rumah akan menyenangkan. Tapi ternyata tidak.
            Pesta pernikahan kami diadakan di belakang taman rumah Justin. Entahlah, Justin bilang ia tidak menyukai wartawan mengambil berita-berita tak jelas. Ia tidak ingin memesan gedung –meski aku yakin ia memiliki gedung yang besar untuk pernikahan- atau mungkin restoran yang ia miliki. Dia hanya ingin di rumah. Seperti orang-orang tahun ‘90an. Aku menyukai selera kuno-nya.
            “Justin, kakiku sakit sekali,” bisikku dengan pelan. Untungnya Justin memesan band yang memainkan musik jazz. Lagi-lagi ia membuatku terkesan dengan seleranya. Aku menyukai music Jazz. Rasanya begitu tenang dan ..entahlah, aku suka menikmatinya.
            “Apa kau ingin melepas sepatu sialanmu itu?” tanyanya dengan kata kotor lagi. Oh, apakah dia tidak pernah diajarkan sopan-santun oleh orang tuanya?Karena kupikir, laki-laki US harus diajarkan seperti itu. Berbicara kotor di depan seorang wanita tidaklah keren. Kudongakan kepalaku untuk melihatnya. Dan aku sangat menyesal telah melakukan itu. Karena matanya langsung bertemu dengan mataku. Kakiku sekarang seperti tak bertulang. Tapi Justin dengan pintarnya menahanku dengan remasan pada pinggangku. Sialan! Lelaki ini pintar sekali menggoda wanita. Atau mungkin, ini kali pertama aku digoda oleh lelaki setampan dirinya? Mungkin. Karena dia adalah lelaki pertama yang benar-benar membuatku lemas, tak bertulang, tapi di satu sisi ia menyebalkan dengan kata kotornya yang ia katakan padaku.
            “Apa?” tanyanya bingung. Kemudian aku tersadar dari lamunanku.
            “Kau hanya begitu tampan,” ujarku tak berpikir. Lagipula, untuk apa aku berpikir untuk memujinya? Ia mudah untuk dipuji.
            “Dan kau begitu cantik, Mrs. Bieber. Aku tidak sabar untuk malam nanti. Ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu,” ujarnya yang membuatku bingung. Kupikir kita akan melakukan malam pertama. Lelaki ini benar-benar membuatku bingung. Mengapa ia begitu aneh? Bukankah seharusnya kita masuk ke dalam gelombang kenikmatan di atas ranjang hingga pagi? Tapi dia? Dia hanya ingin bertanya-tanya tentangku. Baiklah, jika itu maunya, tidak apa-apa. Kurasa aku sanggup. Dan kurasa, aku juga tidak butuh malam pertama karena aku sudah lelah. Bahkan sekarang, matahari baru saja turun.
            Tiba-tiba seorang wanita kira-kira berumur 25 tahun muncul di hadapan kami. Oh, 25 tahun, kurasa. Aku tidak tahu Justin sebenarnya umurnya berapa hingga ia bisa berteman dengan orang-orang yang umurnya sudah lebih dari 20 tahun. Aku bahkan baru 19 tahun menuju 20 tahun sebenarnya, tahun ini. Wanita ini tampak begitu cantik dengan rambut cokelatnya yang ia sanggul sedemikian rupa dan menyisakan sedikit rambutnya di kedua sisi wajahnya, membuat ia mirip dengan orang Jepang. Tapi tidak, ia sepertinya orang Inggris atau semacamnya.
            “Halo, Justin,” sapanya dengan aksen Inggris. Oh, benar. Ia memang orang Inggris. Sangat mengesankan. Pakaian yang ia pakai berwarna putih, dengan potongan belahan dada yang benar-benar rendah. Gila, dadanya benar-benar padat. Aku bahkan bisa melihatnya dari sini. Sialan, aku merasa tersingkirkan. Mungkin Justin lebih tertarik padanya. Aku tidak tahu, tapi saat aku melihat Justin, ia menyeringai. Oh, aku sekarang ..cemburu. Entah mengapa, mungkin ini efek karena ia sudah menjadi suamiku. Sudah menjadi milikku.
            “Jadi, kau Anna?” tanya wanita ini dengan ramah. Dengan malu-malu, aku menganggukan kepalaku. Ibu mertuaku muncul dari belakang bersama dengan ayah mertuaku. Mereka tampak serasi. Pattie tersenyum padaku dengan menatapku memberi sinyal ‘Ah, malam pertama. Bersenang-senanglah’. Kemudian ia mengangkat kedua bahunya dengan semangat dan berjalan dengan wajah yang berseri-seri sambil masuk ke dalam rumah Justin bersama dengan suaminya. Oh, mengapa ibu mertuaku begitu bahagia. Senang melihat orang lain bahagia juga, apalagi jika itu dikarenakan aku.
            “Aku Maria DeBusse,” ujarnya dengan ramah. Aku tidak menyodorkan tanganku padanya.
            “Ya, dia Maria. Dia asistenku, sayang,” ujar Justin yang membuat telingaku hampir jatuh ke atas rumput. Sayang? Apa Justin baru saja memanggilku Sayang? Oh, Tuhan. Tubuhku rasanya melayang. Tapi setelah aku mengamati apa yang baru saja Justin katakan, wajahku terasa panas. Ternyata wanita cantik ini adalah asisten Justin. Justin pasti betah seharian di kantor hanya untuk melihat wajah manis dan dadanya tak tanggung-tanggung. Oh, itu akan memberi semangat yang total bagi Justin.
            Ah, aku kembali melantur. Tidak, tidak. Aku tidak boleh berpikir yang buruk-buruk tentang Justin. Dia pasti lelaki yang baik. Meski tadi malam ia berkata tidak senonoh padaku, tapi setidaknya, ia hanya bercanda. Kami tertidur bersama tadi malam. Tempat tidurnya sangat nyaman.
            Baiklah, kembali lagi dengan Justin.
            “Senang bertemu denganmu, Miss DuBusse,”
            “Ah, Mrs. Bieber. Aku juga sangat senang bertemu denganmu. Akhirnya, Mr. Bieber dapat menemukan gadisnya. Kau tampak cantik,”
            “Maria, bisakah aku berbicara denganmu sebentar?” tanya Justin yang melepaskan rangkulannya dariku. Kemudian Justin memberikan aku kontak mata, meminta izin dariku. Aku hanya mengangguk. Dengan cepat Justin dan Maria pergi dari hadapanku. Sekarang. Aku. Mrs. Bieber. Sendirian.
            Oh, di mana Kathleen? Kupikir ia akan datang ke acara pernikahanku. Tapi dari tadi aku tidak melihat batang hidungnya. Tapi seperti bintang jatuh yang memenuhi permintaanku, aku melihat Kathleen yang muncul dengan senyumannya dari dalam rumah Justin. Ia memakai pakaian yang sangat minim. Dan ia datang bersama dengan kekasihnya, Sam. Lelaki dari California.
            “Kathleen!” aku menjerit kesenangan dan berjalan ke arahnya lalu memeluknya dengan erat. Oh, astaga. Rasanya aku sudah tidak bertemu dengannya selama bertahun-tahun. Ini karena aku tidak memiliki teman di sini selain Justin dan kedua orang mertuaku. Ia tampak cantik dengan gaun selutut yang ia pakai berwarna hitam. Ia sungguh mengagumkan. Aku melepaskan pelukanku dan melihatnya dengan penuh senyum kesenangan.
            “Kau sangat cantik, Anna,” ia memujiku.
            “Aku tahu. Baru kali ini aku dirias seperti ini,” balasku melirik Sam yang mengambil sampanye yang lewat dibawakan oleh pelayan. Ia mengambil dua dan memberikannya pada Kathleen. “Kau juga tampak gagah dengan pakaian yang kaupakai, Sam,” aku memujinya. Tapi memang benar, ia tampak tampan malam ini.
            “Di mana suamimu? Aku belum melihatnya,”
            “Kurasa kau tahu dia,”
            “Kau bahkan belum memberitahu nama suamimu. Tapi tadi di taman depan sana, aku melihat pohon yang berbentuk huruf B. Siapa dia? Benny? Ben? Borton? Oh, nama itu jelek sekali!” ia berseru tak senang. Aku tertawa.
            “Bukan, Kath. Dia Justin Bieber,” setelah aku mengucapkan nama keramat itu, Kath melongo tak percaya. Ia menganga dan hampir saja ia menjatuhkan gelas sampanye miliknya. Aku tersenyum dengan sederet gigi yang kuperlihatkan.
            “Kath!” aku menegurnya.
            “Kau dengan Justin Bieber? Apa-apaan!” ia berbicara kotor. Oh, baiklah. Aku harus jujur. Aku tidak suka jika orang-orang yang berbicara denganku berbicara kotor. Maksudku, entahlah, terdengar tidak benar di telingaku. Aku hanya suka mengumpat dalam hati. Tapi berbicara? Tidak. Aku tidak pernah berbicara kotor –kecuali kalau aku benar-benar kesal sekali.
            “Kathleen, percayalah. Itu tak seburuk yang kaukira,” ujarku. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku berkata seperti itu. Karena menurutku, pasti ia berpikiran yang tidak-tidak. Tapi aku tidak begitu yakin dengan pemikiranku.
            “Bukan. Aku hanya ..apa-apaan? Aku tidak percaya kalau sahabatku menikah dengan seorang Millioner. Kau percaya itu Sam?” tanya Kath menyodok pinggang Sam dengan siku-sikunya. Pendiam, Sam hanya menganggukan kepalanya. Mereka berdua adalah pasangan yang sangat serasi. Kath adalah seorang yang cerewet sedangkan Sam adalah pendiam dan pendengar yang baik.
            “Kathleen, aku sungguh minta maaf jika aku tidak memberitahumu,” ujarku penuh dengan penyesalan. Tapi Kathleen memberikan senyum tulusnya padaku dan menyentuh pundak telanjangku dengan tenang.
            “Aku justru senang. Akhirnya kau mendapatkan lelaki yang memang layak untukmu. Selamat untukmu Anna. Aku senang melihatmu senang,” ujar Kathleen yang membuatku terharu akan kata-katanya. Dia memang sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Setelah apa yang terjadi dalam hidupku setelah kecelakaan itu, dia yang membangkitkanku kembali.
            “Siapa ini sayang?” tanya Justin yang tiba-tiba saja muncul dari belakang dan langsung merangkul pinggangku dan meremasnya. Oh, astaga. Sentuhan ini.
            “Ini sahabatku, Kathleen. Dan ini adalah pacarnya, Sam,” aku memperkenalkan mereka berdua pada Justin. Justin menganggukan kepalanya dengan sopan kepada mereka berdua. Sam memberikan wajah ramahnya pada Justin sedangkan Kath ..astaga, dia melongo tak percaya.
            “Kath?” aku menatapnya dengan was-was. Beberapa detik kemudian ia menggelengkan kepalanya, tersadar dari lamunannya.
            “Oh, astaga. Mr. Bieber, suatu kehormatan bisa bertemu denganmu,”
            “Ah, Miss ..?”
            “Roth,”
            “Miss Roth, aku juga seperti itu. Senang melihatmu telah menjaga Anna,” ujar Justin ramah. “Apa aku boleh meminjam sahabatmu?”
            “Oh, kapan pun. Ia milikmu sekarang,” ujar Kath dengan semangat. Aku melotot padanya, tapi ia balas melotot padaku. Kemudian, Justin menarik tanganku untuk menjauhinya. Oh, kumohon! Aku masih ingin berbicara dengan mereka berdua. Karena aku sangat yakin, aku akan jarang bertemu dengan mereka. Kemudian aku dan Justin sudah menaiki tangga rumah, aku bahkan tidak tahu kalau sekarang aku sudah berada di dalam rumah. Apa yang akan kita lakukan di atas? Masih banyak tamu di bawah sana. Oh, sialan!

***

            “Aku benar-benar lelah,” keluh Justin membuka tuxedo miliknya yang berwarna hitam. Kemudian ia melepas rompi hitam yang ia pakai dan dasi kupu-kupu yang ia pakai. Sungguh, ia tidak terlihat konyol atau jelek. Ia terlihat tampan. Sedangkan aku terduduk di atas tempat tidur dan berusaha untuk tidak merasa risih dengan dadaku yang kurasa, Justin bisa melihatnya sekarang. Dia tinggi dan ia sedang berdiri, tentu saja ia melihatnya. Beberapa detik kemudian aku mengangguk setuju.
            Anting-anting berat ini. Uh, sungguh membuat telingaku ingin jatuh ke lantai sekarang. Dengan perlahan, aku melepaskan mereka satu per satu.
            “Anna, kurasa kau harus berganti pakaian,” ujarnya. Oh, ya. Benar. Mengganti pakaian. Aku berdiri dari tempat tidur dan mengambil pakaianku dari koper. Aku belum membongkarnya untuk menaruh di lemari. Aku bahkan belum tahu apa aku sudah memiliki lemari atau belum. Yang jelas aku langsung mengambil pakaian tidurku dan pergi ke kamar mandi.
            Aku keluar dari kamar mandi dan mendapati Justin yang sudah terbaring di atas tempat tidur dengan hanya boxer putih yang ia pakai. Oh, Tuhan. Bisakah aku tidur dengan nyenyak lagi? Kemarin ia tidak seperti ini, tapi ..uh, astaga. Aku rasa kakiku sudah bergetar. Hati-hati, aku naik ke atas ranjang tempat tidur. Suara music masih terdengar dari bawah sana. Justin masih membuka matanya dan menatap gerak-gerikku. Oh, astaga. Dia benar-benar mengintimidasiku. Aku masuk ke dalam selimut bersama dengannya.

            “Senang melihatmu berada di tempat tidurku lagi, Mrs. Bieber. Sekarang aku mempunyai banyak pertanyaan untuk kau jawab.” Ujarnya dengan mantap. Kuanggukan kepalaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar