Jumat, 02 Agustus 2013

Dominan - Submissive Bab 3

***

            “Aku tidak ingat,” ujarku dengan suara yang pelan, “tapi yang jelas aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Entahlah, di sana ada balon, suara music dan ..sepertinya aku di gudang saat itu,” ujarku mencoba untuk mengingat hal-hal itu dalam waktu lima menit. Dan Justin bersabar menunggunya dalam keheningan. Jari-jarinya tak bisa diam di rambutku yang berwarna hitam. Dari tadi ia memelintirkannya dengan main-main. Dan aku tidak risih dengan itu. Mungkin ia memang menyukainya. Tapi dari tadi aku tidak berani menatap matanya. Jarak tubuhnya dengan tubuhku mungkin hanya sekitar 3 inchi. Ia menaikan salah satu kakinya ke dengkul kakinya yang lain. Sedangkan aku menundukan kepalaku, mencoba untuk menutupi wajahku dengan rambut. Tapi berkali-kali Justin menyisihkannya pada belakang telingaku.
            “Oleh siapa?” tanya tampak dingin dan datar.
            “Tidak tahu. Aku benar-benar tidak ingat, Justin,” kusebut namanya dengan tegas, “Aku kecelakaan dan kurasa kejadian itu terjadi beberapa hari sebelum kecelakaan itu. Jadi, aku tidak begitu ingat,”
            “Kepalamu terbentur atau semacamnya?”
            “Ya,”
            “Apa masih sakit?” tanya Justin perhatian. Oh, Tuhan. Jika ia memperlakukanku seperti ini, bagaimana mungkin aku tidak bisa mencintainya? Ia terlihat manis padaku sekarang. Tangannya yang bermain di sekitar rambutku. Rasa keingintahuannya yang tinggi padaku. Bagaimana bisa? Bahkan sekarang aku harus menahan senyumanku. Dan kurasa aku tidak boleh terlalu percaya diri dengan perlakuan Justin. Mungkin ini adalah nilai tambah atau perlakuan tambah dari Justin karena aku adalah seorang Mrs. Bieber. Istrinya sekaligus submisif-nya.
            Aku menggelengkan kepalaku dan mendongak untuk melihatnya. Dan ini dia. Matanya membuat hatiku meleleh. Menyesalkan apa yang kuperbuat, aku kembali menunduk lagi. Tapi jari telunjuk Justin menarik daguku sehingga aku melihatnya.
            “Tidak apa-apa,” ujarnya dengan lembut. “Sekarang, berbaringlah,” perintahnya padaku. Aku menganggukan kepalaku dan melakukan apa yang ia katakan. Aku merangkak untuk lebih ke tengah tempat tidurku. Dan berbaring di tengah-tengahnya seperti orang bodoh.
            “Relax,” ujarnya  berdiri dari tempat tidur dan mulai membuka kemejanya yang masih ia pakai. Oh, tidak-tidak. Aku tidak ingin ia membuka bajunya di depanku lagi. Itu semuanya memberikan rangsangan terhadapku. Well, aku harus jujur. Dari kemarin, aku membayangkannya meniduriku di atas tempat tidur dengan tubuhnya yang benar-benar terpahat indah itu. Membuatku selalu basah. Tidurku bahkan tidak terlalu nyenyak tadi malam. Aku menarik tubuhku ke belakang sehingga aku sedikit terduduk. Siku-siku menjadi tumpuanku.
            “Begitu lebih baik,” ujarnya sambil melangkah pergi menuju kamar mandi. Aku menunggunya. Mendengar suara pancuran air keran dan kemudian mati. Beberapa detik berlalu, Justin muncul. Whoa! Sialan. Kakinya yang telanjang dan berbulu terlihat dari sini. Kutelan ludahku untuk tetap terjaga tidak dalam goncangan saat melihat keindahan ini. Kepalaku pening saat ia tersenyum padaku. Sial, sial, sial! Ia terlalu seksi untuk dilihat oleh orang sepertiku. Benteng pertahananku hancur sudah! Aku mulai terangsang melihatnya.
            “Anna, kau cantik. Ukuran tubuhmu memang mungil. Tapi kau seksi, rambutmu indah. Terakhir, kapan kau melakukan seks? Maksudku, tanpa paksaan?” tanya Justin mulai terduduk di atas tempat tidur dengan hanya boxer abu-abu yang ia pakai. Aku mengangkat kedua bahuku. Aku tidak melakukannya sejak kejadian itu. Maksudku, aku juga tidak ingin melakukannya sampai aku mendapatkan suamiku. Sebenarnya aku ingin menjaga keperawananku untuk suamiku kelak. Tapi yah, aku tidak dapat memberikannya pada Justin. Aku cukup merasa bersalah karena tidak dapat menyenangkannya.
            “Tidak? Tidak pernah?” tanyanya tampak terkejut. Aku menganggukan kepalaku. “Bagaimana bisa?”
            “Kath selalu menjagaku,”
            “Kath,” ia menggumam, “Ia tampak lebih tua darimu, eh?”
            “Ya, dia empat tahun lebih tua dariku. Justin, apa kau seperti ini dengan wanita-wanita lain?” tanyaku penasaran. Maksudku, keterbukaannya terhadapku. Aku tidak tahu apa ia memang seperti ini atau hanya karena aku adalah istrinya, maka ia memberitahu masa lalunya atau apa yang ia senangi dan tidak tampak tertutup. Banyak orang –termasuk Kath- juga bilang kalau seorang Bieber adalah orang yang dingin. Bahkan ia akan melakukan apa pun untuk menutupi privasinya. Well, sebenarnya bukan banyak orang. Mungkin hanya 2-3 orang. Tapi Justin yang kukenal sekarang adalah Justin yang tidak menutupi dirinya. Meski ia tampak berubah jika ia sudah keluar dari rumah. Lebih pendiam sedikit –kecuali jika sudah berada di dalam mobil. Dan ia tampak manis.
            Kulihat Justin tampak berpikir sebentar, menatap pada lantai lalu padaku.
            “Tidak,”
            “Jadi, bagaimana kau memperlakukan mereka?”
            “Aku tidak pernah sesabar ini, sebelumnya. Kau lebih enak diajak bicara,”
            “Mengapa?”
            “Karena kau adalah submisif alami,” ujarnya menyeringai padaku. Kemudian ia merangkak untuk mendekatiku. Mataku tak lepas dari matanya hingga ia sudah melayang di atas tubuhku. Oh, astaga. Tatto itu. Aku melihat sebuah tatto di leher Justin. Astaga, seorang Justin Bieber miliki sebuah tato di sekitar lehernya. Dan aku tidak tahu itu tulisan apa. Aku tidak mengerti. Justin mulai menciumi leherku dengan lembut dan decakan dari ciumannya membuat apa yang ada di bawahku semakin basah. Sialan! Aku mendesah pelan dan mendongakan kepalaku ke belakang sehingga mulut Justin mudah mengakses di sekitar sana.
            “Tatto?” tanyaku. Oh, suaraku serak sekali. Ia menggigit leherku sehingga aku menjerit kecil.
            “Ya,”
            “Tulisan apa itu Justin?” tanyaku memejamkan mataku dan mulai meremas sprei tempat tidur dengan kencang. Ia mengemut leherku dengan mulutnya dengan buas, membuat tubuhku bergetar di bawahnya.
            “Ibrani,” ujar Justin sambil menyentakan tubuhku ke bawah dengan kedua tangannya sehingga aku lebih turun ke bawah dan berbaring sepenuhnya. Ia juga ikut mensejajarkan kepalanya dengan kepalaku. Mulutnya menyentuh mulutku. Oh, ini sangat nikmat.
            Terputar di kepalaku kenangan Nicholas mencium bibirku dengan lembut. Ia mencoba untuk tidak melakukan lebih. Ia menjaga tubuhku sebisa mungkin dengan seluruh raganya. Itu sangat manis dan aku tidak ingin menangis pada momen seperti ini. Kulupakan Nicholas dan mulai memagut bibir Justin juga. Ini benar-benar masih.
            “Apa artinya Justin?” tanyaku di sela-sela ciuman ini. Tubuhku bergetar saat Justin mengangkat punggungku dengan kedua tangannya sehingga aku sedikit terangkat ia semakin memperdalam ciuman ini. Lidahnya membelai mulutku dengan lembut. Ini benar intens. Setelah kepala kami pening karena kekurangan oksigen, ia melepaskan ciumannya. Aku terengah-engah dan menatap matanya langsung.
            “Dominan,” bisiknya dengan pelan dan mulai menciumi rahangku. “Aku ..Aku akan membuatmu tidak akan pernah melupakan pengalaman pertama terindah yang akan segera kau dapatkan,” ujarnya terus menciumi rahangku, lalu ke bawah, ke leherku.
            “Angkat tanganmu ke atas,” ujarnya memerintah. Aku mengangkat kedua tanganku ke atas dan tiba-tiba ia menarik kaos putih yang kupakai ke atas untuk membebaskan tubuhku dari benda itu. Ia melemparnya asal. “Ya, Tuhan,” ia mendesah saat matanya dengan nanar melihat pada dadaku. Aku memakai bra berwarna biru muda. Tangannya mulai meremas dadaku dengan lembut. Aku mendesah pelan.
            “Astaga, ini benar-benar indah,” ujarnya mulai mencium tengah-tengah dari kedua dadaku. Mengeluarkan sedikit lidahnya, membuatku menyentakan tubuhku ke atas. Ia tertawa pelan. Oh, aku bisa merasakan sesuatu yang menonjol di bawah sana. Ia sudah sangat keras rupanya. Kemudian jari-jarinya yang terampil menyentakan bra-ku ke bawah sehingga dadaku benar-benar terekspos. Kupejamkan mataku. Hanya nafas kami yang terdengar dan aku mendengar jantungku yang berdebar dengan cepat. Aku merintih pelan saat lidahnya yang hebat itu mulai menjilati sekitar dadaku.
            “Oh, Justin!” aku mulai meremas rambutnya dengan kencang. Ia menggeram saat aku menarik rambutnya dan kemudian ia tertawa. Tawa jahatnya. Oh, astaga. Ini terlalu berlebihan. Aku tidak bisa menerima lebih dari ini. Aku tidak bisa karena tubuhku sekarang benar-benar bergetar di bawahnya dan terus menggoyang-goyangkan tubuhku di bawahnya.
            “Diam sayang,” ujarnya dengan lembut. Aku mencoba untuk menurutinya. Tapi aku tidak bisa! Ini terlalu ..oh astaga, mulutnya mencakup salah satu dadaku dan menggigit lembut putingnya. Aku mendengking bagaikan anjing yang ditendang! Dan tubuhku terdorong ke dalam tempat tidur, kutarik kepalanya untuk menjauhi dadaku. Astaga, aku tidak bisa.
            “Justin,” aku melenguh pelan.
            “Sssh, semuanya akan baik-baik saja. Setelah sore ini, besok aku akan membawamu ke salah satu temanku untuk membuatkanmu tattoo. Submisif permanenku, oh, kau sangat menggiurkan,” ujarnya menggoyang-goyangkan dadaku dengan lembut. Aku hanya menganggukan kepalaku dengan pasrah. Tiba-tiba salah satu tangannya mulai menjalar menuju perutku lalu bawah perutku. Celana jins yang kupakai sekarang sudah benar-benar mengetat di sekitar kakiku karena aku terus menarik tubuhku ke belakang sehingga jins itu juga ikut tertarik ke belakang. Telapak tangannya mencakup seluruh bagian bawah itu. Aku tersentak. Justin mulai menyingkirkan tubuhnya dari atasku, mungkin untuk membuatku bisa bernafas. Mungkin, jika ia tidak melakukannya, aku akan segera mati kenikmatan atas perlakuannya. Kemudian jari telunjuk dan jempolnya mulai menurunkan retsleting celana jinsku. Ia mulai menariknya ke bawah agar lepas dari kakiku. Aku membantunya menarik dengan jari-jari kakiku hingga benar-benar terlepas.
            “Ah, Justin! Apa yang –“ Sialan! Tiba-tiba saja tangannya mulai menangkup seluruh bagian bawahku dengan telapak tangannya hingga aku mendapatkan pelepasan. Aku mengejang dan pinggulku tak bisa diam. Aku menggeram dan merintih sambil memejamkan mataku. Tangan Justin masih berada di sana dan sesekali ia meremasnya, membuatku berteriak.
            “Kau sangat basah,” bisiknya menjilat telingaku. Aku belum selesai dengan pelepasanku sehingga aku tidak meresponnya. Ini benar-benar indah. Pelepasan pertamaku yang benar-benar indah.
            “Sekarang, biarkan aku melakukannya dengan lembut agar kau tidak akan pernah melupakan ini,”
            “Yah,” itu adalah respon di mana aku benar-benar pasrah.
            “Kau menginginkannya?”
            “Ya, Justin,” ujarku mantap. Sedetik kemudian mulutnya sudah berada di mulutku.

***

            “Aw!” aku meringis saat Justin melepaskan plastic itu dari leherku dengan kencang. Sehingga aku menjerit kencang. Sialan! Sakit sekali. Aku benar-benar tidak percaya kalau Justin akan melakukan ini padaku. Ia benar-benar melakukan apa yang ia katakan. Ia baru saja membawaku ke tempat tattoo dan ia meminta temannya yang bernama John untuk mentatokan leherku dengan tulisan Ibrani yang berarti Submisif. Astaga, aku benar-benar tak percaya. Dan rasanya benar-benar sakit. Tapi itu tadi. Sekarang sudah tidak. Hanya saja, Justin menarik plastik yang berguna untuk menutupi bakteri karena ini adalah tato baru dengan kencang, membuatnya sakit kembali.
            Kulihat ia menyeringai puas.
            “Submissive. Sempurna. Alami. Astaga, aku sangat berterimakasih pada orang tuaku telah memilihmu sebagai ..pendampingku,” ia enggan menyebut istri. Tidak apa-apa. Kami sedang berada di dalam mobil untuk pergi ke sebuah tempat lagi. Entah ia akan membawaku ke tempat apa. Max, pengawalnya, yang membawa mobilnya sehingga kami terduduk di bagian belakang.
            “Apa kau menyukainya?” tanya Justin menelengkan kepalanya ke salah satu sisi. Kuanggukan kepalaku dengan malu-malu. Entahlah, aku memang menyukainya. Mungkin karena Justin memiliki tato juga. Dan tato ini berhubungan dengannya juga.
            “Apa Nicholas pernah melakukan ini padamu?”
            “Tentu saja tidak,” aku membalasnya langsung. Mengapa tiba-tiba ia ingin membicarakan tentang Nicholas? Tidak. Nicholas tidak sama seperti Justin. Ia lebih menjaga tubuhku lebih baik dari Justin. Tapi kurasa, Justin melakukan ini padaku adalah tindakan legal. Ia adalah suamiku dan ia berhak atas tubuhku. Dan aku juga tidak keberatan jika ia ingin mentatokan tubuhku. Tubuhku adalah tubuhnya juga. Maksudku, miliknya.
            “Mengapa tampaknya kau tidak suka membicarakannya?” tanya Justin. Ya, benar. Aku tidak ingin membicarakan Nicholas. Karena aku sakit hati. Setelah apa yang telah ia lakukan padaku, kebaikannya, perhatiannya, dan tiba-tiba saja semua itu hilang dalam sedetik karena sebuah kecelakaan. Aku benar-benar merasa bersalah. Itu semua karena diriku. Aku yang menyebabkannya meninggal. Aku tidak sanggup untuk membicarakannya sekarang.
            Tiba-tiba air mataku menggenang. Sialan. Aku langsung mengerjap-kerjapkan mataku berkali-kali agar tidak menangis.
            “Karena dia sudah meninggal,” bisikku dengan suara yang pelan.
            “Ah, ya. Aku lupa,” ujar Justin dengan nada yang sangat santai.
            “Apa kau mencintainya?” tanyanya lagi. Aku menganggukan kepalaku dengan pelan. “Sampai sekarang?” aku mengangkat kedua bahuku. Aku tidak tahu. Mungkin. Tapi jika aku mempertahankan cinta ini, ini semua hanyalah omong kosong. Ia sudah tiada.
            “Mengapa kau tidak suka dicintai? Maksudku, mengapa kau tidak belajar untuk mencintai seseorang?” tanyaku mendongak untuk melihatnya. Ia tidak bergeming. Dan tidak memberikan ekspresi apa pun padaku. Tapi ia tampak berpikir sebentar kemudian ia membuka mulutnya, tapi ia tutup kembali. Setelah beberapa detik, akhirnya ia membuka mulutnya kembali.
            “Karena mereka semua adalah omong kosong? Aku tidak layak dicintai. Dan aku tidak pernah mencintai seseorang karena aku tahu, mereka hanya membual,”
            “Bagaimana denganku?”
            “Aku tidak tahu. Jangan pernah coba-coba, Anna. Aku tidak memiliki rasa cinta.” Tuturnya.
****

            Kata-kata itu masih terputar di otakku berkali-kali. Seperti radio rusak. Tapi otakku tidak bisa menyerap kata-kata itu. Setiap kata yang terlontar sangat tidak masuk akal. Dia tidak memiliki rasa cinta? Tidak mungkin. Pasti dia memiliki rasa cinta. Cinta untuk bekerja, mungkin? Mengapa rasanya begitu janggal di telingaku? Itu bukan seperti manusia. Apa dia tidak memiliki hati? Pasti ia punya. Karena ia sangat baik padaku. Meski aku tahu, itu adalah kewajibannya melakukan hal-hal kemarin padaku. Dan tattoo ini.
            Aku hanya menatap pada hidangan makanan yang berada di hadapanku. Dari tadi aku tidak menyentuhnya. Steak. Pisau dan garpu yang berada di kedua tanganku bahkan tak bergerak. Nafsu makanku hilang. Apa aku harus putus asa? Ini untuk yang ketiga kalinya ia menekankan bahwa ia tidak ingin dicintai atau ia mencintai. Tidak boleh! Aku ingin dia menjadi suamiku, bukan sekedar dominan. Telingaku rasanya tidak dapat mendengar apa-apa. Maria DeBusse ada di sini. Di restoran milik Justin. Kebetulan sekali ia sedang berada di sini dan kami akhirnya menghampirinya. Kemudian aku mendongak. Semua suara mulai kembali terdengar pada telingaku. Aku sudah waras kembali. Aku sudah turun kembali ke bumi.
            “Tidak juga,” ujar Justin dengan kepribadiannya yang tiba-tiba saja berubah. Dari tadi ia tampak pendiam dan tidak banyak bicara. Berbicara denganku saja tidak. Maria tampak anggun siang ini. Dengan pakaiannya yang benar-benar rapi. Well, sebenarnya, ia memakai pakaian formal. Kau tahu, blazer, rok pensil selutut berwarna hitam. Kemeja berwarna putih, syal berwarna merah muda yang melilit di leher dan masuk ke dalam blazer-nya.  Rambutnya yang berwarna cokelat, ia sanggup dengan rapi. Ia tidak memiliki poni. Padahal baru dua hari yang lalu rambutnya bergelombang dan sangat cantik. Dan sekarang sudah mengkilap rapi tanpa ada gelombang. Sial, dia pintar sekali merias dirinya sendiri. Sedangkan aku saja, paling maksimal aku bisa memakai pewarna bibir dan perona pipi. Hanya dua benda itu yang bisa menyentuh wajahku! Sedang ia, maskara, pensil untuk mewarnai alis matanya, pelembab bibir. Sungguh sial, kecantikanku kalah telak dengan wanita ini.
            “Anna, kau harus makan. Ada apa?” tanya Justin yang akhirnya berbicara denganku. Kutatapi matanya yang berubah menjadi mata yang misterius. Kuanggukan kepalaku.
            “Tidak apa-apa,” ujarku akhirnya memotong steak ini dengan susah. Sialan, daging sapi apa ini? Mengapa rasanya aku memotong sebuah daging mainan? Melihatku kesusahan memotong daging ini, Justin mengambil piringku dan mulai memotongnya menjadi beberapa potongan yang kecil. Kulihat Maria melihat pada tangan Justin yang masih memotong dagingku dengan nanar. Apa-apaan? Mengapa ia melihat Justin begitu aneh? Maksudku, ia terlihat bingung dengan tingkah Justin. Kemudian ia memakan makanannya kembali. Tersadar aku memperhatikannya, Maria melihat mataku langsung. Entahlah, ia terlihat ramah dengan tatapan itu. Tapi aku tahu, ia menyembunyikan suatu perasaan pada Justin. Itu membuatku sedikit cemburu.
            Aku jadi ingat saat aku cemburu melihat Nicholas bersama gadis lain. Aku berbohong pada Justin tentang Nicholas adalah pacarku. Karena menurutku, aku adalah pacarnya. Itu menurutku meski sebenarnya aku tidak pernah memberitahu Nicholas kalau aku mencintainya. Tapi kedekatanku dengan Nicholas itu setara dengan orang yang memiliki sebuah hubungan. Ya, aku tidak pernah pacaran sebelumnya. Oh, astaga, Nicholas adalah cinta pertamaku yang pergi. Ah, tidak-tidak. Aku tidak boleh menangis di tempat yang seperti ini.
            “Anna,” ia berucap dengan sopan.
            “Apa yang kaupikirkan?” tanyaku tanpa berpikir. Sontak Justin berhenti memotong dagingku dan langsung memberikan piring itu padaku.
            “Makan,” aku tahu. Aku tahu Justin tidak ingin aku membuat percakapan dengan Maria. Dengan cepat, aku menurut dan memakan daging steak ini.Ternyata dagingnya empuk dan rasanya sangat lezat. Sialan, ini benar-benar enak.
            “Kurasa Mr. Bieber beruntung sekali telah memiliki Anda,” ujarnya dengan sopan. Aku hanya menganggukan kepalaku dan menguyah makananku. Justin terdiam dan mengelap mulutnya dengan serbet. Kemudian ia bersandar dan mulai membicarakan bisnis dengan Maria sedangkan aku sibuk menghabiskan makananku. Kurasa Mr. Bieber beruntung sekali telah memiliki Anda. Kata-kata macam apa itu? Itu sedikit menyiratkan suatu singgungan terhadapku. Mungkin, ya. Aku tidak tahu apa Justin beruntung atau sial telah memilikiku.
            “Anna, apa kau sudah selesai?” tanya Justin saat aku mengelap mulutku juga dengan serbet. Kuanggukan kepalaku. “Maria, mungkin besok aku baru bisa bekerja. Tolong beritahu Isaac untuk menangani semuanya. Mengerti?” tanya Justin dengan cepat dan menarik tanganku. Aku ikut berdiri.
            “Ya, Mr. Bieber,”
            “Baiklah,” ujar Justin menarik tanganku untuk pergi dari restoran ini dengan cepat. Entahlah, tiba-tiba ia terlihat begitu terburu-buru. Mungkin ada sesuatu yang ia lupa di rumah.

***

            “Ini ponsel barumu. iPhone. Mengerti?” tanya Justin sambil memberikan sebuah ponsel layar sentuh padaku. Aku menganggukan kepalaku. “Aku akan sering sekali menghubungimu. Jadi, jangan pernah lepas dari tanganmu. Mengerti?” tanyanya lagi. Kuanggukan kepalaku sambil menyentuh ponsel canggih ini. Oh, kuharap Kathleen ada di sini dan mengajariku untuk memakai ponsel ini. Karena aku tahu, ia sangat menginginkan ponsel ini. Tapi ia bilang masih ada kebutuhan yang harus ia cukupi dari pada memiliki ponsel canggih seperti ini.
            Dan aku di sini. Duduk di atas tempat tidur Justin dan memegang sebuah ponsel impian Kath dengan mudah. Kulihat Justin yang berdiri di depanku memegang ponsel yang sama dan mulai mendekatkan ponsel tersebut pada telinganya. Beberapa detik kemudian, ponselku berdering. Ia langsung mematikannya.
            “Simpan nomor itu, mengerti?” tanyanya lagi. Kuanggukan kepalaku dan mulai membuka ponsel ini. Panggilan tak terjawab. Dengan kaku, aku memasukan nomornya ke dalam kontak dengan nama ‘Bieber’ di sana.
            “Kau akan ke mana?” tanyaku dengan ragu saat ia mulai memasukan ponselnya ke dalam kantong celananya.
            “Ada pekerjaan yang harus kukerjakan. Jika kau perlu apa-apa, kau bisa minta pada Max. Ia ada di rumah ini. Cari saja,” ujarnya, “seharusnya aku memanggil satu pengawal lagi untuknya,” gumam Justin dengan suara kecil sambil berjalan keluar dari kamarnya. Ia mulai menghilang. Oh, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan hari ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini. Kemudian aku bangkit dari tempat tidur Justin dan menaruh ponsel ini ke dalam celanaku. Kuharap Justin memiliki tempat yang baik untukku tempati. Ah, siang seperti ini kurasa nyaman sekali jika berenang. Dapat kupastikan, aku ingin berenang.

***

            “Bikini,” aku menggumam saat aku melihat pada kaca super besar di hadapanku. Di kamarku. Ternyata Justin telah membelikanku banyak pakaian. Setelah aku melihat lemari pakaianku, ternyata sudah banyak sekali baju di dalam sana. Bahkan celana dalam baruku ada. Banyak sekali bikini  yang ia belikan untukku. Dan bikini yang sekarang kupakai benar-benar seksi. Dengan cepat aku mengambil handuk yang telah kusiapkan di atas tempat tidurku. Kemudian kulilitkan di sekitar pinggangku.
            Aku berjalan menuju lantai bawah dengan cepat sambil memegang handukku agar tidak jatuh ke bawah. Kemudian aku melihat banyak pelayan yang berkeliaran untuk membersihkan rumah ini. Oh, sial. Aku benar-benar malu telah memakai bikini ini. Meski mungkin hanya bagian atas yang terlihat, tapi tetap saja aku malu. Pipiku memerah saat aku melewati dua orang pelayan yang berhenti membersihkan perabotan rumah Justin dan tersenyum padaku. Aku hanya menganggukan kepalaku dengan sopan dan berjalan dengan cepat menuju kolam renang.
            Ah, akhirnya. Aku sudah sampai di luar. Melihat sebuah kolam renang yang benar-benar luas dan besar. Ada tiga kolam renang dengan bentuk yang berbeda. Kemudian aku melihat ada kursi santai di pinggiran kolam bersama dengan payung yang besar. Aku berjalan ke arah tempat itu dan mulai membuka handukku. Kutaruh handukku di atas kursi dan berpikir. Apa yang sudah kulupakan? Apa? Aku mencari tahu apa yang kulupa. Ada sesuatu yang kulupa. Kupejamkan mataku dan terduduk di atas kursi. Apa yang kulupa, ya?
            “Lotion? Sunblock eh?,” ujar Justin yang tiba-tiba saja berada di depanku. Aku membuka mataku dan melihat tangan Justin yang berada di depan wajahku dengan sebuah lotion yang ia pegang. Kuraih dan tersenyum padanya. Kemudian dengan semangat aku mulai membuka lotion dan meneteskannya pada telapak tanganku. Dengan cepat aku menyebarkan dan merata lotion itu ke seluruh tangan dan kakiku. Leherku juga. Kemudian perutku dan punggungku. Tapi aku kesusahan di bagian punggungku. Aku mendongak dan melihat Justin yang menatapku dengan seringainya. Apa yang lucu?
            “Butuh bantuan?” tanyanya sepertinya tahu kalau aku kesusahan. Dengan malu, aku menganggukan kepalaku.
            “Tolong bagian belakang,” ujarku sambil memberikan botol lotion itu pada Justin. Aku langsung memunggungi Justin. Beberapa detik setelah itu, kurasa dinginnya lotion dari tangan Justin yang mengelus punggungku dengan lembut. Sialan, tubuhku bergetar kecil karena sentuhannya. Kudengar suaranya yang menggeram rendah tiba-tiba. Aku memejamkan mataku untuk merasakan belaian dari tangannya. Kemudian berhenti. Sialan.
            “Sudah. Baiklah, terima kasih telah menggangguku dengan pakaianmu yang benar-benar terbuka ini. Aku harus kembali bekerja lagi,”
            “Dari mana kau tahu aku memakai bikini?” tanyaku bingung. Maksudku, ia muncul.
            “Aku bekerja di sana,” ujar Justin sambil menunjuk ke atas. Ke sebuah kaca yang terbuka. Ruang kerja Justin ternyata. Oh, jadi dari sana ia melihatku. Aku menganggukan kepalaku, kemudian Justin berjalan untuk kembali masuk ke dalam rumah.
            “Nikmati harimu,” ujarnya. Aku menganggukan kepalaku. Dan lalu ia menghilang.

            Kuambil nafasku dalam-dalam setelah kejadian tadi. Sentuhannya tadi bagaikan listrik bagiku. Kuhembus nafasku dan terduduk di sisi kolam sambil mencelupkan kedua kakiku ke dalamnya. Kemudian aku meluncur masuk dan berenang dengan tenang.
            Pikiranku melayang-layang. Mengingat kembali apa yang baru saja terjadi hari ini. Aku baru saja mendapatkan tattoo. Submissive dalam tulisan Ibrani. Kuharap Maria tidak melihat tattoo ini. Oh, astaga. Kuharap juga Kathleen tidak melihat tattoo ini. Karena kurasa, jika ia melihatnya, ia akan menguliti leherku dengan sebuah pisau. Tapi kurasa itu tidak mungkin. Kuambil nafasku saat kepalaku muncul ke udara kemudian aku menyelamkan kembali.

*Justin Bieber POV*

            Aku melihat gadis mungil itu menyelam. Gayanya seperti kudanil sekarang. Hanya kepalanya saja yang muncul di kolam renang itu. Membuatku terkekeh pelan. Ini adalah pemandangan yang sangat indah. Baru pertama kali, aku mengagumi kemungilan seorang gadis. Apalagi ia adalah gadis yang berumur 19 tahun. Ia masih sangat muda. Dan sudah menikah denganku. Persetan dengan pernikahan! Aku tidak akan pernah menganggapnya lebih dari seorang submisif. Ia terlahir untukku. Untuk menjadi milikku. Tapi ia hanyalah seorang submisif alami yang kumiliki selamanya.
            Aku tidak akan pernah mencintainya. Meski aku tahu, ia sangat polos dan seperti tidak berpikir sebelum berbicara. Tapi itu adalah sebuah keberanian yang hebat. Ia berbicara jujur padaku. Entahlah, kurasa tentang pacar-pacaran itu, ia tidak sepenuhnya pacaran dengan Nicholas. Aku tahu itu karena hari sebelumnya ia bilang padaku kalau ia tidak pernah berpacaran. Aku tahu kapan ia berbohong dan tidak berbohong. Karena pada dasarnya, ia adalah gadis yang tidak bisa berbohong. Kulihat kepalanya kembali muncul saat ia sudah menyelam lama sekali. Ia perenang yang handal.
            Aku pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya. Tapi kapan? Aku tidak tahu. Hanya saja, itu pasti sudah lama sekali. Wajahnya mirip sepertinya. Tapi siapa? Aku kagum dengannya saat pertama kali aku bertemu dengannya. Kikuk. Ia seorang gadis yang kaku dan polos. Saat aku mengetuk pintu rumahnya, ia terdiam melihatku. Terpaku karena ketampananku. Aku tidak ingin sombong tapi sebagian dari warga US menginginkan aku. Apalagi aku adalah seorang Millioner. Banyak sekali rumah yang kumiliki. Tapi hanya rumah ini yang kutempati. Karena kompleks perumahan ini sudah terjamin keamanannya. Aku tidak ingin ada satu paparazzi mengambil gambarku dan Anna. Aku tidak suka diikuti. Aku akan melakukan apa saja untuk menutupi privasi ini.
            Saat tadi aku menyentuh punggungnya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menciumi lehernya yang menggiurkan itu. Ia membuatku selalu bergairah. Aku bahkan ingin pulang cepat-cepat dari restoran karena aku tidak ingin ada seorang pun melihat aku berereksi di tempat umum. Ini semua karena Anna! Sang submissive.
            Persetan dengan apa yang ia katakan di dalam mobil tadi! Aku tidak mempercayai sebuah hubungan. Aku punya kenangan buruk dengan itu. Aku tidak ingin itu terjadi pada Anna. Aku tidak menginginkan sebuah hubungan karena aku tahu, semua wanita itu sama! Mereka hanya butuh uang, uang, uang dan uang. Aku benci pembual. Gadis-gadis di luar tidak tahu apa yang akan kuperbuat pada mereka jika mereka sudah berada di dalam rumahku. Aku akan memperlakukan mereka secara semena-mena. Mereka akan lari di rumah ini dengan tubuh yang sudah membiru. Aku benci wanita yang hanya menginginkan uangku! Jika mereka tidak meinginginkan uangku, mereka adalah pembual. Pulpen yang kupegang patah begitu saja saat aku menggeram. Sialan!
            Mungkin. Hanya Anna yang berbeda. Ia adalah submisif yang alami. Tidak mengada-ngada. Ia tidak bisa berbohong. Dan yang kubutuhkan dalam diri seorang wanita adalah kejujuran dan kepercayaan. Anna jujur, ia tidak bisa berbohong. Tapi ia percaya kalau aku tidak akan menyakitinya. Ia penurut dan aku menyukainya.
            Tapi aku tidak yakin.
            Satu hal yang tidak akan pernah terjadi. Aku. Tidak. Akan. Pernah. Mencintainya. Titik.
****

            Aku belum tahu apa yang Anna sukai. Dia gadis yang menyenangkan. Meski awalnya ia agak pemalu dan pendiam. Dan saat ia bilang padaku kalau ia bukan gadis yang pendiam, ia membuktikannya keesokan harinya. Dia benar-benar tidak bisa berbohong. Aku melihatnya dari atas sini, sedang membungkus dirinya dengan handuk. Seorang pelayan menghampirinya, kemudian ia menggelengkan kepalanya dengan senyum ramah menghiasi wajahnya. Kurasa pelayan itu menawarkan segelas minuman untuknya. Astaga, ia harus belajar untuk hidup mewah. Bahkan ia tidak lebih memilih untuk mengunduh lagu lewat iPhone miliknya atau mungkin bermain dengan iPhone-nya. Tapi ia malah memilih untuk berenang di sini. Dia gadis yang sederhana dan polos.
            Aku terkekeh.
            Tapi kepolosannya sudah kelewat batas. Dan aku belum terlalu tegas padanya. Aku masih berbaik hati padanya karena aku tahu, dia gadis yang rapuh. Setelah ia melewati tahun-tahun yang buruk dalam hidupnya. Ia juga harus mendapatkan keadilan. Untung saja orang tuaku memilihnya untuk menjadi ..Sialan! Istriku. Sebenarnya, masih banyak pilihan lain yang bisa orang tuaku pilih. Tapi kurasa karena kecantikan dan kepolosan Anna, ibuku memilih Anna menjadi istriku. Meski aku tahu, sebenarnya ibuku agak keberatan dengan tingkat perekonomiannya yang benar-benar di bawah. Jauh berbeda denganku. Ini bagaikan langit dan bumi. Aku tidak tahu, apa aku bisa melanjutkan kehidupan ini dengannya. Aku ingin ia menjadi gadis yang nakal. Kurasa kau tahu maksudku. Dan tidak terlalu polos seperti ini.
            Aku berjalan keluar dari ruang kerjaku. Sial. Maria. Aku harus menghubunginya. Dengan malas, kembali aku masuk  ke dalam ruang kerjaku tanpa menutup pintunya. Kukeluarkan ponselku dan menghubungi Maria.
            “Maria,” aku memanggilnya saat ia mengangkatnya.
            “Astaga, Justin! Apa kau serius? Tatto yang tadi kulihat benar-benar tidak cocok untuknya!” ujar Maria langsung. Sungguh tidak sopan. Ini yang aku tidak suka dari Maria. Dia orang Inggris, seharusnya ia tahu sopan santun lebih banyak dibanding orang US. Dan aku tidak peduli pendapatnya tentang tattoo baru Anna. Aku suka dan aku senang.
            “Aku menghubungimu bukan karena itu. Sial! Apa yang kaulakukan tadi di restoran? Apa kau gila? Untung saja tadi ia melamun!” aku menggertak padanya. Sungguh, aku sudah menahan amarahku sekaligus gairahku karena Maria juga Anna. Maria membuatku marah dan Anna membuatku bergairah.
            “Aku tidak bisa menahan pertanyaan tadi!” ia berujar, membentak lebih tepatnya. Tanganku benar-benar ingin menampar bibirnya. Astaga, beruntung ia tidak ada di sini.
            “Lain kali, jangan pernah berbicara tentang hubungan kita di depannya!” aku memarahinya. Aku tahu sebenarnya ini selesai. Seharusnya, sudah selesai. Tapi ia, ia wanita yang sangat susah ditolak. Untung saja –terberkatilah aku Tuhan!- ada Anna yang keseksian melampaui batas kemauanku. Sehingga aku bisa lebih memerhatikan Anna dibanding Maria. Ya, dia adalah mantan submissive-ku. Tapi Maria ..aku tidak tahu apa yang ada di otaknya, aku sudah berusaha untuk menjauhinya di kantor. Tapi ia terus menggodaku –meski di dalam ruang kerjaku saja- tapi tetap saja aku tidak bisa memecatnya. Ia memiliki potensi yang besar terhadap perusahaanku. Dan ia sebenarnya adalah asistenku yang sangat baik –sebelum ia menjadi submissive-ku.
            “Aku tidak mengerti denganmu Just—“
            “Maria, berhenti. Aku hanya ingin membicarakan dan menekan ini satu kali saja dan kau harus mendengarnya baik-baik atau kau kupecat!” tuntutku padanya, kudengar ia terkesiap.
            “Jangan pernah sekali-kali membicarakan hal itu lagi di depan Anna. Ia sudah menjadi submissive-ku dan kau tahu, dia gadis yang polos. Jangan sampai kau menyakiti hatinya atau apa pun. Apalagi saat kau mencoba untuk membuatnya cemburu tadi, itu sangat tidak berhasil. Mengerti?”
            “Hmm,” ia menggumam, kurasa ia sedang berpikir.
            “Kubilang mengerti tidak, sialan?!” kali ini aku membentaknya. Ia terkejut.
            “Ya, Mr. Bieber. Mengerti,” ujarnya membalasku.
            “Bagus,” aku mematikan ponselku.

            Kubalikan tubuhku untuk kembali keluar dari ruangan sial ini. Suasana ini membuatku benar-benar tidak nyaman. Tapi aku berhenti melangkah. Aku melihat Anna yang berdiri di ambang pintu kerjaku. Astaga, sudah berapa lama ia berdiri di sana? Dan dari mana ia tahu jalan untuk sampai ke sini? Astaga, ini benar-benar membuatku tidak nyaman. Aku masih diliputi amarah dan ia ..astaga, Tuhan, ampunilah dosa-dosaku, gadis ini berdiri di ambang pintu dengan handuk yang menutupi tubuhnya dan aku sangat yakin ia hanya mengenakan bikini. Jakun naik-turun, tergiur akan hidangan makanan kesukaanku mulai dari sekarang.
            “Justin,” ia berbisik, malu. Pipinya memerah. Dia manis.
            “Sudah berapa lama kau berdiri di sana?” tanyaku, was-was.
            “Aku baru sampai saat kau mengatakan ‘bagus’ , entah kepada siapa. Siapa itu Justin?” tanyanya tanpa berpikir. Jika ia bukan submissive kesukaanku, aku pasti sudah memukulnya. Lancang sekali ia bertanya seperti itu pada Mr. Bieber. Dan aku yakin, ia mencoba untuk berbohong padaku. Dia pasti sudah lama berdiri di sana.
            “Anna, jangan bohong,” ujarku mulai menyatukan alisku. Kemudian Anna mendesah pelan. Ia menautkan kedua alisnya.
            “Baiklah, aku sudah mendengarnya dari saat kau bilang jangan menyakitinya. Dan jangan membuatnya cemburu. Entahlah, mungkin seperti itu yang kaubilang. Tapi dari siapa?” tanyanya. Ia jujur. Aku mendesah dan menggelengkan kepalaku.
            “Kemarilah,” suruhku padanya sambil merentangkan tanganku agar aku bisa memeluknya. Ia berjalan dan melepas handuknya tiba-tiba. Ya Tuhan. Mataku melebar. Kemudian ia memelukku dengan erat. Tubuhnya tidak begitu basah, hanya rambutnya saja.
            “Itu tidak penting. Bagaimana kalau sekarang kita mandi bersama?” tanyaku mengelus punggungnya dengan lembut. Astaga, apa Anna adalah bayi raksasa? Tubuhnya benar-benar halus dan lembut. Ia mendongak dan aku menunduk. Kukecup bibirnya yang lembut itu dengan pelan.
            “Mandi bersama?”
            “Ya, ayo,” aku mengajaknya sambil mengangkat kedua pahanya sehingga sekarang kakinya mulai melingkari pinggangku. Dia benar-benar ringan.

***

*Anna Bieber POV*

            Aku tidak tahu apa yang tadi Justin diskusikan. Tapi percakapannya tadi di telepon benar-benar manis dan terdengar tulus. Ia tidak ingin ada yang menyakitiku. Tapi ia menuturkannya pada siapa? Aku benar-benar penasaran. Tapi aku tidak suka saat Justin memanggil orang itu dengan panggilan ‘sialan’. Pasti orang itu memiliki nama. Dan tadi sore, ia memandikanku. Sungguh, itu adalah pengalaman pertama aku mandi dengan seorang lelaki. Dan sekarang aku sedang menikmati pemandangan yang indah. Justin sedang mengganti pakaiannya sedangkan aku terduduk di atas kasur. Mataku tak pernah lepas dari lekukan tubuhnya dan otot-ototnya yang terpahat oleh Tuhan dengan sangat indah. Aku tidak pernah menyangka kalau aku akan mendapat Dewa Yunani seperti Justin. Apalagi tadi ia menyetubuhiku di dalam kamar mandi dengan sangat lembut. Astaga, aku mendapatkan tiga kali orgasme. Entah apa yang membuatnya senang hari ini, tapi kakiku tadi rasanya ingin patah akibat beratnya tubuhku.
            “Apa?” tanya Justin saat ia memasukan tubuhnya ke dalam pakaian tidur. Ia memakai baju tidur yang berwarna biru dan bergaris-garis putih. Dia kelihatan seperti ayahku yang ingin tidur. Tapi ia lebih tampan dan gagah. Aku menggelengkan kepalaku. Malam ini aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Justin. Maksudku, apa yang akan kulakukan selain tinggal di rumah? Aku tidak memiliki siapa-siapa di sini. Aku belum mengenal pelayan-pelayan di sini.
            “Apa yang kaupikirkan, Anna?” tanya Justin mendekatiku. Kuangkat kedua bahuku dengan acuh.
            “Aku tidak memiliki siapa-siapa di sini,” ujarku, mencoba untuk tidak menatapnya. Tapi sial! Aku terpaku dengan keindahan matanya.
            “Apa? Kau ingin aku membelikanmu apa?”
            “Aku ingin seekor anjing,” ujarku menundukan kepalaku dengan malu-malu. Astaga, apa ini saat yang tepat untuk mengajukan pertanyaan itu? Karena kurasa, jika aku memiliki anjing di sini, setidaknya aku memiliki pekerjaan untuk mengurusi anjing. Aku ingin anak anjing.
            “Anjing eh?” tanya Justin sambil menarik daguku agar ia bisa melihat mataku. Dengan pipi yang memerah, aku menganggukan kepalaku.
            “Iya, aku ingin anjing jenis Pom. Pasti dia akan sangat lucu,”
            “Apa kau akan berjanji untuk tidak membuatnya merengek pada malam hari?” tanya Justin terus memegang daguku dengan jari telunjuk dan jempolnya. Kuanggukan kepalaku.
            “Aku akan merawatnya sebaik mungkin. Aku ingin dua,” ujarku malu-malu dan memejamkan mataku. Astaga, tatapannya tadi sangat intens. Sama seperti saat tadi ia menatapku di kamar mandi. Saat aku mendapatkan pelepasan dan ia memintaku untuk tidak memejamkan mataku. Dan itu benar-benar intens. Tiba-tiba apa yang berada di bawahku berdenyut-denyut.
            “Betina dan jantan?” tanyanya, “buka matamu, Anna,” suruhnya. Aku melakukannya.
            “Ya. Aku ingin anjingku memiliki anak,”
            “Dan kau akan menamai mereka siapa?” tanyanya lagi. Ia mendekatkan bibirnya dengan bibirku kemudian ia membelainya, tidak menciumku. Hanya menggesek-gesekannya di sana. Terus menerus, membuatku memejamkan mata. Sialan, apa yang sebenarnya ia lakukan?
            “Bee dan Boo,” ujarku di hadapan bibirnya.
            “Maka kau akan mendapatkannya,” ujarnya kemudian bibirnya menekan bibirku dalam-dalam. Mulutku terbuka sehingga ia dapat melesakan lidahnya ke dalam mulutku dan bereksplorasi di dalamnya. Kali ini aku lebih bereaksi padanya. Kutaruh tanganku ke belakang lehernya untuk memperdalam ciuman ini dan menariknya untuk menindih tubuhku. Aku hanya ingin ciuman panas. Tidak lebih.
            “Nakal,” bisiknya tertawa dan mengecup bibirku terus menerus. Aku suka mendengarnya tertawa. Kemudian aku melepas ciuman ini, memberi jarak antara wajahku dengan wajahnya.
            “Apa kau menyukai Anna yang nakal? Mana yang kau lebih suka? Anna polos atau Anna yang nakal?” tanyaku menggodanya. Ia menyeringai padaku kemudian terkekeh.
            “Menantang eh?” tanyanya dengan gaya bicaranya yang khas.
            “Aku hanya bertanya, Justin,”
            “Aku menyukainya dua-duanya,” ujarnya kembali mengecup bibirku.

***

            “Anna!” aku mendengar Justin berteriak. Apa? Apa yang terjadi? Saat aku sedang sibuk melihat layar ponselku untuk mengunduh sebuah lagu, tiba-tiba saja suara Justin membuatku tersentak. Bangkit dari tempat tidur, aku berlari keluar dari kamar. Astaga, padahal baru dua jam yang lalu ia pergi berangkat kerja. Dan mengapa ia cepat sekali kembali? Aku berlari menelusuri tangga dan melihat Justin yang terduduk di atas sofa dengan salah satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain.
            Ia kelihatan bersih dan pakaiannya yang formal membuatnya sangat tampan, lebih dari pada biasanya. Kudekati Justin. Aku hanya memakai celana pendek biasa dan kaos berwarna hijau. Justin menelengkan kepalanya ke salah satu sisi dan tersenyum aneh padaku. Seakan-akan ia bingung denganku. Apa yang salah?
            “Warna hijau cocok dengan kulitmu,” ujarnya. Ternyata ia menilai pakaianku. “Lihat apa yang kubawa,” ujarnya.
            “Apa?”
            “Kemarilah,” ia menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Aku duduk di atas sofa, bersebelahan dengannya. “Tutup matamu,” perintahnya. Aku memejamkan mataku.
            “Apa yang kau suka Anna?” tanyanya, aku ingin membuka mataku, “jangan mengintip!” ia menegurku. Kembali aku menutup mataku dengan erat. Benar-benar gelap.
            “Aku menyukai music Jazz,”
            “Musik Jazz eh? Berarti kau menikmati musik pernikahan kita bukan?” tanyanya, meski dalam nada bicaranya saat menyebutkan kata ‘pernikahan’ terdengar begitu enggan. Aku menganggukan kepalaku.
            “Aku juga suka music Jazz, siapa yang kau suka?”
            “Frank Sinatra?”
            “Aku juga. Selain itu, apa yang kau suka?”
            “Aku menyukai anjing,” ujarku ingat perkataanku kemarin. Astaga, apa Justin membawakanku anjing Pom? Oh, kumohon. Semoga itu benar-benar terjadi.
            “Buka matamu,” suruhnya. Kemudian aku membuka mataku. Itu bukan anjing. Hatiku sedih, tapi aku mencoba untuk tersenyum padanya. Dia memberikanku kalung. Kalung emas murni berada di telapak tangannya.
            “Apa aku boleh memegangnya?” tanyaku hati-hati.
            “Tentu saja, itu milikmu,” ujarnya. Aku langsung mengambil dan menyentuhnya. Liontinnya berbentuk huruf B. Mungkin inisial dari Bieber. Senyumku semakin melebar. “Biar kupakaikan, berbaliklah,” ujarnya. Kemudian aku duduk, memunggunginya. Kuikat rambutku dengan jariku dan mengangkatnya agar Justin mudah memakaikan kalungnya.
            “Kulitmu benar-benar halus,” ujarnya setelah memakaikan kalung ini. Ia mengecupnya dengan pelan, membuat tubuhku bergetar. “Berbaliklah, aku ingin melihatnya,” ujarnya. Aku melakukan apa yang ia katakan. Tapi sebelum aku tersenyum untuk berterima kasih padanya. Mataku melebar. Astaga!
            “Bee dan Boo?” aku menjerit kesenangan. Astaga, Justin benar-benar memberikanku dua anjing. Aku sungguh senang. Dua kandang yang berbeda telah berada di atas karpet. Yang satu warna ungu dan satunya lagi berwarna merah muda. Justin menganggukan kepalanya dan tersenyum miring padaku.

            “Apa pun yang kauinginkan, aku ingin memenuhinya. Anjing ini milikmu. Tapi aku memiliki satu syarat.” ujarnya sambil menyipitkan matanya. Syarat? Jantungku berdetak kencang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar