“Aku
tidak ingat,” ujarku dengan suara yang pelan, “tapi yang jelas aku tidak
menginginkan hal itu terjadi. Entahlah, di sana ada balon, suara music dan ..sepertinya
aku di gudang saat itu,” ujarku mencoba untuk mengingat hal-hal itu dalam waktu
lima menit. Dan Justin bersabar menunggunya dalam keheningan. Jari-jarinya tak
bisa diam di rambutku yang berwarna hitam. Dari tadi ia memelintirkannya dengan
main-main. Dan aku tidak risih dengan itu. Mungkin ia memang menyukainya. Tapi
dari tadi aku tidak berani menatap matanya. Jarak tubuhnya dengan tubuhku
mungkin hanya sekitar 3 inchi. Ia menaikan salah satu kakinya ke dengkul
kakinya yang lain. Sedangkan aku menundukan kepalaku, mencoba untuk menutupi
wajahku dengan rambut. Tapi berkali-kali Justin menyisihkannya pada belakang
telingaku.
“Oleh
siapa?” tanya tampak dingin dan datar.
“Tidak
tahu. Aku benar-benar tidak ingat, Justin,” kusebut namanya dengan tegas, “Aku
kecelakaan dan kurasa kejadian itu terjadi beberapa hari sebelum kecelakaan
itu. Jadi, aku tidak begitu ingat,”
“Kepalamu
terbentur atau semacamnya?”
“Ya,”
“Apa
masih sakit?” tanya Justin perhatian. Oh, Tuhan. Jika ia memperlakukanku
seperti ini, bagaimana mungkin aku tidak bisa mencintainya? Ia terlihat manis
padaku sekarang. Tangannya yang bermain di sekitar rambutku. Rasa
keingintahuannya yang tinggi padaku. Bagaimana bisa? Bahkan sekarang aku harus
menahan senyumanku. Dan kurasa aku tidak boleh terlalu percaya diri dengan
perlakuan Justin. Mungkin ini adalah nilai tambah atau perlakuan tambah dari
Justin karena aku adalah seorang Mrs. Bieber. Istrinya sekaligus submisif-nya.
Aku
menggelengkan kepalaku dan mendongak untuk melihatnya. Dan ini dia. Matanya
membuat hatiku meleleh. Menyesalkan apa yang kuperbuat, aku kembali menunduk
lagi. Tapi jari telunjuk Justin menarik daguku sehingga aku melihatnya.
“Tidak
apa-apa,” ujarnya dengan lembut. “Sekarang, berbaringlah,” perintahnya padaku.
Aku menganggukan kepalaku dan melakukan apa yang ia katakan. Aku merangkak
untuk lebih ke tengah tempat tidurku. Dan berbaring di tengah-tengahnya seperti
orang bodoh.
“Relax,”
ujarnya berdiri dari tempat tidur dan
mulai membuka kemejanya yang masih ia pakai. Oh, tidak-tidak. Aku tidak ingin
ia membuka bajunya di depanku lagi. Itu semuanya memberikan rangsangan
terhadapku. Well, aku harus jujur. Dari kemarin, aku membayangkannya meniduriku
di atas tempat tidur dengan tubuhnya yang benar-benar terpahat indah itu. Membuatku
selalu basah. Tidurku bahkan tidak terlalu nyenyak tadi malam. Aku menarik
tubuhku ke belakang sehingga aku sedikit terduduk. Siku-siku menjadi tumpuanku.
“Begitu
lebih baik,” ujarnya sambil melangkah pergi menuju kamar mandi. Aku
menunggunya. Mendengar suara pancuran air keran dan kemudian mati. Beberapa
detik berlalu, Justin muncul. Whoa! Sialan. Kakinya yang telanjang dan berbulu
terlihat dari sini. Kutelan ludahku untuk tetap terjaga tidak dalam goncangan
saat melihat keindahan ini. Kepalaku pening saat ia tersenyum padaku. Sial,
sial, sial! Ia terlalu seksi untuk dilihat oleh orang sepertiku. Benteng
pertahananku hancur sudah! Aku mulai terangsang melihatnya.
“Anna,
kau cantik. Ukuran tubuhmu memang mungil. Tapi kau seksi, rambutmu indah.
Terakhir, kapan kau melakukan seks? Maksudku, tanpa paksaan?” tanya Justin
mulai terduduk di atas tempat tidur dengan hanya boxer abu-abu yang ia pakai.
Aku mengangkat kedua bahuku. Aku tidak melakukannya sejak kejadian itu.
Maksudku, aku juga tidak ingin melakukannya sampai aku mendapatkan suamiku.
Sebenarnya aku ingin menjaga keperawananku untuk suamiku kelak. Tapi yah, aku
tidak dapat memberikannya pada Justin. Aku cukup merasa bersalah karena tidak
dapat menyenangkannya.
“Tidak?
Tidak pernah?” tanyanya tampak terkejut. Aku menganggukan kepalaku. “Bagaimana
bisa?”
“Kath
selalu menjagaku,”
“Kath,”
ia menggumam, “Ia tampak lebih tua darimu, eh?”
“Ya,
dia empat tahun lebih tua dariku. Justin, apa kau seperti ini dengan
wanita-wanita lain?” tanyaku penasaran. Maksudku, keterbukaannya terhadapku.
Aku tidak tahu apa ia memang seperti ini atau hanya karena aku adalah istrinya,
maka ia memberitahu masa lalunya atau apa yang ia senangi dan tidak tampak
tertutup. Banyak orang –termasuk Kath- juga bilang kalau seorang Bieber adalah
orang yang dingin. Bahkan ia akan melakukan apa pun untuk menutupi privasinya.
Well, sebenarnya bukan banyak orang. Mungkin hanya 2-3 orang. Tapi Justin yang
kukenal sekarang adalah Justin yang tidak menutupi dirinya. Meski ia tampak
berubah jika ia sudah keluar dari rumah. Lebih pendiam sedikit –kecuali jika
sudah berada di dalam mobil. Dan ia tampak manis.
Kulihat
Justin tampak berpikir sebentar, menatap pada lantai lalu padaku.
“Tidak,”
“Jadi,
bagaimana kau memperlakukan mereka?”
“Aku
tidak pernah sesabar ini, sebelumnya. Kau lebih enak diajak bicara,”
“Mengapa?”
“Karena
kau adalah submisif alami,” ujarnya menyeringai padaku. Kemudian ia merangkak
untuk mendekatiku. Mataku tak lepas dari matanya hingga ia sudah melayang di
atas tubuhku. Oh, astaga. Tatto itu. Aku melihat sebuah tatto di leher Justin. Astaga,
seorang Justin Bieber miliki sebuah tato di sekitar lehernya. Dan aku tidak
tahu itu tulisan apa. Aku tidak mengerti. Justin mulai menciumi leherku dengan
lembut dan decakan dari ciumannya membuat apa yang ada di bawahku semakin
basah. Sialan! Aku mendesah pelan dan mendongakan kepalaku ke belakang sehingga
mulut Justin mudah mengakses di sekitar sana.
“Tatto?”
tanyaku. Oh, suaraku serak sekali. Ia menggigit leherku sehingga aku menjerit
kecil.
“Ya,”
“Tulisan
apa itu Justin?” tanyaku memejamkan mataku dan mulai meremas sprei tempat tidur
dengan kencang. Ia mengemut leherku dengan mulutnya dengan buas, membuat
tubuhku bergetar di bawahnya.
“Ibrani,”
ujar Justin sambil menyentakan tubuhku ke bawah dengan kedua tangannya sehingga
aku lebih turun ke bawah dan berbaring sepenuhnya. Ia juga ikut mensejajarkan
kepalanya dengan kepalaku. Mulutnya menyentuh mulutku. Oh, ini sangat nikmat.
Terputar
di kepalaku kenangan Nicholas mencium bibirku dengan lembut. Ia mencoba untuk
tidak melakukan lebih. Ia menjaga tubuhku sebisa mungkin dengan seluruh
raganya. Itu sangat manis dan aku tidak ingin menangis pada momen seperti ini.
Kulupakan Nicholas dan mulai memagut bibir Justin juga. Ini benar-benar masih.
“Apa
artinya Justin?” tanyaku di sela-sela ciuman ini. Tubuhku bergetar saat Justin
mengangkat punggungku dengan kedua tangannya sehingga aku sedikit terangkat ia
semakin memperdalam ciuman ini. Lidahnya membelai mulutku dengan lembut. Ini
benar intens. Setelah kepala kami pening karena kekurangan oksigen, ia
melepaskan ciumannya. Aku terengah-engah dan menatap matanya langsung.
“Dominan,”
bisiknya dengan pelan dan mulai menciumi rahangku. “Aku ..Aku akan membuatmu
tidak akan pernah melupakan pengalaman pertama terindah yang akan segera kau
dapatkan,” ujarnya terus menciumi rahangku, lalu ke bawah, ke leherku.
“Angkat
tanganmu ke atas,” ujarnya memerintah. Aku mengangkat kedua tanganku ke atas
dan tiba-tiba ia menarik kaos putih yang kupakai ke atas untuk membebaskan
tubuhku dari benda itu. Ia melemparnya asal. “Ya, Tuhan,” ia mendesah saat
matanya dengan nanar melihat pada dadaku. Aku memakai bra berwarna biru muda.
Tangannya mulai meremas dadaku dengan lembut. Aku mendesah pelan.
“Astaga,
ini benar-benar indah,” ujarnya mulai mencium tengah-tengah dari kedua dadaku.
Mengeluarkan sedikit lidahnya, membuatku menyentakan tubuhku ke atas. Ia
tertawa pelan. Oh, aku bisa merasakan sesuatu yang menonjol di bawah sana. Ia
sudah sangat keras rupanya. Kemudian jari-jarinya yang terampil menyentakan
bra-ku ke bawah sehingga dadaku benar-benar terekspos. Kupejamkan mataku. Hanya
nafas kami yang terdengar dan aku mendengar jantungku yang berdebar dengan
cepat. Aku merintih pelan saat lidahnya yang hebat itu mulai menjilati sekitar
dadaku.
“Oh,
Justin!” aku mulai meremas rambutnya dengan kencang. Ia menggeram saat aku
menarik rambutnya dan kemudian ia tertawa. Tawa jahatnya. Oh, astaga. Ini
terlalu berlebihan. Aku tidak bisa menerima lebih dari ini. Aku tidak bisa
karena tubuhku sekarang benar-benar bergetar di bawahnya dan terus
menggoyang-goyangkan tubuhku di bawahnya.
“Diam
sayang,” ujarnya dengan lembut. Aku mencoba untuk menurutinya. Tapi aku tidak
bisa! Ini terlalu ..oh astaga, mulutnya mencakup salah satu dadaku dan
menggigit lembut putingnya. Aku mendengking bagaikan anjing yang ditendang! Dan
tubuhku terdorong ke dalam tempat tidur, kutarik kepalanya untuk menjauhi
dadaku. Astaga, aku tidak bisa.
“Justin,”
aku melenguh pelan.
“Sssh,
semuanya akan baik-baik saja. Setelah sore ini, besok aku akan membawamu ke
salah satu temanku untuk membuatkanmu tattoo. Submisif permanenku, oh, kau
sangat menggiurkan,” ujarnya menggoyang-goyangkan dadaku dengan lembut. Aku
hanya menganggukan kepalaku dengan pasrah. Tiba-tiba salah satu tangannya mulai
menjalar menuju perutku lalu bawah perutku. Celana jins yang kupakai sekarang
sudah benar-benar mengetat di sekitar kakiku karena aku terus menarik tubuhku
ke belakang sehingga jins itu juga ikut tertarik ke belakang. Telapak tangannya
mencakup seluruh bagian bawah itu. Aku tersentak. Justin mulai menyingkirkan
tubuhnya dari atasku, mungkin untuk membuatku bisa bernafas. Mungkin, jika ia
tidak melakukannya, aku akan segera mati kenikmatan atas perlakuannya. Kemudian
jari telunjuk dan jempolnya mulai menurunkan retsleting celana jinsku. Ia mulai
menariknya ke bawah agar lepas dari kakiku. Aku membantunya menarik dengan
jari-jari kakiku hingga benar-benar terlepas.
“Ah,
Justin! Apa yang –“ Sialan! Tiba-tiba saja tangannya mulai menangkup seluruh
bagian bawahku dengan telapak tangannya hingga aku mendapatkan pelepasan. Aku
mengejang dan pinggulku tak bisa diam. Aku menggeram dan merintih sambil
memejamkan mataku. Tangan Justin masih berada di sana dan sesekali ia
meremasnya, membuatku berteriak.
“Kau
sangat basah,” bisiknya menjilat telingaku. Aku belum selesai dengan
pelepasanku sehingga aku tidak meresponnya. Ini benar-benar indah. Pelepasan
pertamaku yang benar-benar indah.
“Sekarang,
biarkan aku melakukannya dengan lembut agar kau tidak akan pernah melupakan
ini,”
“Yah,”
itu adalah respon di mana aku benar-benar pasrah.
“Kau
menginginkannya?”
“Ya,
Justin,” ujarku mantap. Sedetik kemudian mulutnya sudah berada di mulutku.
***
“Aw!”
aku meringis saat Justin melepaskan plastic itu dari leherku dengan kencang.
Sehingga aku menjerit kencang. Sialan! Sakit sekali. Aku benar-benar tidak
percaya kalau Justin akan melakukan ini padaku. Ia benar-benar melakukan apa
yang ia katakan. Ia baru saja membawaku ke tempat tattoo dan ia meminta
temannya yang bernama John untuk mentatokan leherku dengan tulisan Ibrani yang
berarti Submisif. Astaga, aku benar-benar tak percaya. Dan rasanya benar-benar
sakit. Tapi itu tadi. Sekarang sudah tidak. Hanya saja, Justin menarik plastik
yang berguna untuk menutupi bakteri karena ini adalah tato baru dengan kencang,
membuatnya sakit kembali.
Kulihat
ia menyeringai puas.
“Submissive.
Sempurna. Alami. Astaga, aku sangat berterimakasih pada orang tuaku telah
memilihmu sebagai ..pendampingku,” ia enggan menyebut istri. Tidak apa-apa.
Kami sedang berada di dalam mobil untuk pergi ke sebuah tempat lagi. Entah ia
akan membawaku ke tempat apa. Max, pengawalnya, yang membawa mobilnya sehingga
kami terduduk di bagian belakang.
“Apa
kau menyukainya?” tanya Justin menelengkan kepalanya ke salah satu sisi.
Kuanggukan kepalaku dengan malu-malu. Entahlah, aku memang menyukainya. Mungkin
karena Justin memiliki tato juga. Dan tato ini berhubungan dengannya juga.
“Apa
Nicholas pernah melakukan ini padamu?”
“Tentu
saja tidak,” aku membalasnya langsung. Mengapa tiba-tiba ia ingin membicarakan
tentang Nicholas? Tidak. Nicholas tidak sama seperti Justin. Ia lebih menjaga
tubuhku lebih baik dari Justin. Tapi kurasa, Justin melakukan ini padaku adalah
tindakan legal. Ia adalah suamiku dan ia berhak atas tubuhku. Dan aku juga
tidak keberatan jika ia ingin mentatokan tubuhku. Tubuhku adalah tubuhnya juga.
Maksudku, miliknya.
“Mengapa
tampaknya kau tidak suka membicarakannya?” tanya Justin. Ya, benar. Aku tidak
ingin membicarakan Nicholas. Karena aku sakit hati. Setelah apa yang telah ia
lakukan padaku, kebaikannya, perhatiannya, dan tiba-tiba saja semua itu hilang
dalam sedetik karena sebuah kecelakaan. Aku benar-benar merasa bersalah. Itu
semua karena diriku. Aku yang menyebabkannya meninggal. Aku tidak sanggup untuk
membicarakannya sekarang.
Tiba-tiba
air mataku menggenang. Sialan. Aku langsung mengerjap-kerjapkan mataku
berkali-kali agar tidak menangis.
“Karena
dia sudah meninggal,” bisikku dengan suara yang pelan.
“Ah,
ya. Aku lupa,” ujar Justin dengan nada yang sangat santai.
“Apa
kau mencintainya?” tanyanya lagi. Aku menganggukan kepalaku dengan pelan.
“Sampai sekarang?” aku mengangkat kedua bahuku. Aku tidak tahu. Mungkin. Tapi
jika aku mempertahankan cinta ini, ini semua hanyalah omong kosong. Ia sudah
tiada.
“Mengapa
kau tidak suka dicintai? Maksudku, mengapa kau tidak belajar untuk mencintai
seseorang?” tanyaku mendongak untuk melihatnya. Ia tidak bergeming. Dan tidak
memberikan ekspresi apa pun padaku. Tapi ia tampak berpikir sebentar kemudian
ia membuka mulutnya, tapi ia tutup kembali. Setelah beberapa detik, akhirnya ia
membuka mulutnya kembali.
“Karena
mereka semua adalah omong kosong? Aku tidak layak dicintai. Dan aku tidak
pernah mencintai seseorang karena aku tahu, mereka hanya membual,”
“Bagaimana
denganku?”
“Aku
tidak tahu. Jangan pernah coba-coba, Anna. Aku tidak memiliki rasa cinta.”
Tuturnya.
****
Kata-kata
itu masih terputar di otakku berkali-kali. Seperti radio rusak. Tapi otakku
tidak bisa menyerap kata-kata itu. Setiap kata yang terlontar sangat tidak
masuk akal. Dia tidak memiliki rasa cinta? Tidak mungkin. Pasti dia memiliki
rasa cinta. Cinta untuk bekerja, mungkin? Mengapa rasanya begitu janggal di
telingaku? Itu bukan seperti manusia. Apa dia tidak memiliki hati? Pasti ia
punya. Karena ia sangat baik padaku. Meski aku tahu, itu adalah kewajibannya
melakukan hal-hal kemarin padaku. Dan tattoo ini.
Aku
hanya menatap pada hidangan makanan yang berada di hadapanku. Dari tadi aku
tidak menyentuhnya. Steak. Pisau dan garpu yang berada di kedua tanganku bahkan
tak bergerak. Nafsu makanku hilang. Apa aku harus putus asa? Ini untuk yang
ketiga kalinya ia menekankan bahwa ia tidak ingin dicintai atau ia mencintai.
Tidak boleh! Aku ingin dia menjadi suamiku, bukan sekedar dominan. Telingaku
rasanya tidak dapat mendengar apa-apa. Maria DeBusse ada di sini. Di restoran
milik Justin. Kebetulan sekali ia sedang berada di sini dan kami akhirnya
menghampirinya. Kemudian aku mendongak. Semua suara mulai kembali terdengar
pada telingaku. Aku sudah waras kembali. Aku sudah turun kembali ke bumi.
“Tidak
juga,” ujar Justin dengan kepribadiannya yang tiba-tiba saja berubah. Dari tadi
ia tampak pendiam dan tidak banyak bicara. Berbicara denganku saja tidak. Maria
tampak anggun siang ini. Dengan pakaiannya yang benar-benar rapi. Well,
sebenarnya, ia memakai pakaian formal. Kau tahu, blazer, rok pensil selutut berwarna
hitam. Kemeja berwarna putih, syal berwarna merah muda yang melilit di leher
dan masuk ke dalam blazer-nya. Rambutnya
yang berwarna cokelat, ia sanggup dengan rapi. Ia tidak memiliki poni. Padahal
baru dua hari yang lalu rambutnya bergelombang dan sangat cantik. Dan sekarang
sudah mengkilap rapi tanpa ada gelombang. Sial, dia pintar sekali merias
dirinya sendiri. Sedangkan aku saja, paling maksimal aku bisa memakai pewarna
bibir dan perona pipi. Hanya dua benda itu yang bisa menyentuh wajahku! Sedang ia,
maskara, pensil untuk mewarnai alis matanya, pelembab bibir. Sungguh sial,
kecantikanku kalah telak dengan wanita ini.
“Anna,
kau harus makan. Ada apa?” tanya Justin yang akhirnya berbicara denganku.
Kutatapi matanya yang berubah menjadi mata yang misterius. Kuanggukan kepalaku.
“Tidak
apa-apa,” ujarku akhirnya memotong steak ini dengan susah. Sialan, daging sapi
apa ini? Mengapa rasanya aku memotong sebuah daging mainan? Melihatku kesusahan
memotong daging ini, Justin mengambil piringku dan mulai memotongnya menjadi
beberapa potongan yang kecil. Kulihat Maria melihat pada tangan Justin yang
masih memotong dagingku dengan nanar. Apa-apaan? Mengapa ia melihat Justin
begitu aneh? Maksudku, ia terlihat bingung dengan tingkah Justin. Kemudian ia
memakan makanannya kembali. Tersadar aku memperhatikannya, Maria melihat mataku
langsung. Entahlah, ia terlihat ramah dengan tatapan itu. Tapi aku tahu, ia
menyembunyikan suatu perasaan pada Justin. Itu membuatku sedikit cemburu.
Aku
jadi ingat saat aku cemburu melihat Nicholas bersama gadis lain. Aku berbohong
pada Justin tentang Nicholas adalah pacarku. Karena menurutku, aku adalah
pacarnya. Itu menurutku meski sebenarnya aku tidak pernah memberitahu Nicholas
kalau aku mencintainya. Tapi kedekatanku dengan Nicholas itu setara dengan
orang yang memiliki sebuah hubungan. Ya, aku tidak pernah pacaran sebelumnya.
Oh, astaga, Nicholas adalah cinta pertamaku yang pergi. Ah, tidak-tidak. Aku
tidak boleh menangis di tempat yang seperti ini.
“Anna,”
ia berucap dengan sopan.
“Apa
yang kaupikirkan?” tanyaku tanpa berpikir. Sontak Justin berhenti memotong
dagingku dan langsung memberikan piring itu padaku.
“Makan,”
aku tahu. Aku tahu Justin tidak ingin aku membuat percakapan dengan Maria.
Dengan cepat, aku menurut dan memakan daging steak ini.Ternyata dagingnya empuk
dan rasanya sangat lezat. Sialan, ini benar-benar enak.
“Kurasa
Mr. Bieber beruntung sekali telah memiliki Anda,” ujarnya dengan sopan. Aku
hanya menganggukan kepalaku dan menguyah makananku. Justin terdiam dan mengelap
mulutnya dengan serbet. Kemudian ia bersandar dan mulai membicarakan bisnis
dengan Maria sedangkan aku sibuk menghabiskan makananku. Kurasa Mr. Bieber beruntung sekali telah memiliki Anda. Kata-kata
macam apa itu? Itu sedikit menyiratkan suatu singgungan terhadapku. Mungkin,
ya. Aku tidak tahu apa Justin beruntung atau sial telah memilikiku.
“Anna,
apa kau sudah selesai?” tanya Justin saat aku mengelap mulutku juga dengan
serbet. Kuanggukan kepalaku. “Maria, mungkin besok aku baru bisa bekerja.
Tolong beritahu Isaac untuk menangani semuanya. Mengerti?” tanya Justin dengan
cepat dan menarik tanganku. Aku ikut berdiri.
“Ya,
Mr. Bieber,”
“Baiklah,”
ujar Justin menarik tanganku untuk pergi dari restoran ini dengan cepat.
Entahlah, tiba-tiba ia terlihat begitu terburu-buru. Mungkin ada sesuatu yang
ia lupa di rumah.
***
“Ini
ponsel barumu. iPhone. Mengerti?” tanya Justin sambil memberikan sebuah ponsel
layar sentuh padaku. Aku menganggukan kepalaku. “Aku akan sering sekali menghubungimu.
Jadi, jangan pernah lepas dari tanganmu. Mengerti?” tanyanya lagi. Kuanggukan
kepalaku sambil menyentuh ponsel canggih ini. Oh, kuharap Kathleen ada di sini
dan mengajariku untuk memakai ponsel ini. Karena aku tahu, ia sangat
menginginkan ponsel ini. Tapi ia bilang masih ada kebutuhan yang harus ia
cukupi dari pada memiliki ponsel canggih seperti ini.
Dan
aku di sini. Duduk di atas tempat tidur Justin dan memegang sebuah ponsel
impian Kath dengan mudah. Kulihat Justin yang berdiri di depanku memegang
ponsel yang sama dan mulai mendekatkan ponsel tersebut pada telinganya.
Beberapa detik kemudian, ponselku berdering. Ia langsung mematikannya.
“Simpan
nomor itu, mengerti?” tanyanya lagi. Kuanggukan kepalaku dan mulai membuka
ponsel ini. Panggilan tak terjawab. Dengan kaku, aku memasukan nomornya ke
dalam kontak dengan nama ‘Bieber’ di sana.
“Kau
akan ke mana?” tanyaku dengan ragu saat ia mulai memasukan ponselnya ke dalam
kantong celananya.
“Ada
pekerjaan yang harus kukerjakan. Jika kau perlu apa-apa, kau bisa minta pada
Max. Ia ada di rumah ini. Cari saja,” ujarnya, “seharusnya aku memanggil satu
pengawal lagi untuknya,” gumam Justin dengan suara kecil sambil berjalan keluar
dari kamarnya. Ia mulai menghilang. Oh, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan
hari ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini. Kemudian aku bangkit dari tempat
tidur Justin dan menaruh ponsel ini ke dalam celanaku. Kuharap Justin memiliki
tempat yang baik untukku tempati. Ah, siang seperti ini kurasa nyaman sekali
jika berenang. Dapat kupastikan, aku ingin berenang.
***
“Bikini,”
aku menggumam saat aku melihat pada kaca super besar di hadapanku. Di kamarku.
Ternyata Justin telah membelikanku banyak pakaian. Setelah aku melihat lemari
pakaianku, ternyata sudah banyak sekali baju di dalam sana. Bahkan celana dalam
baruku ada. Banyak sekali bikini yang ia
belikan untukku. Dan bikini yang sekarang kupakai benar-benar seksi. Dengan
cepat aku mengambil handuk yang telah kusiapkan di atas tempat tidurku.
Kemudian kulilitkan di sekitar pinggangku.
Aku
berjalan menuju lantai bawah dengan cepat sambil memegang handukku agar tidak
jatuh ke bawah. Kemudian aku melihat banyak pelayan yang berkeliaran untuk
membersihkan rumah ini. Oh, sial. Aku benar-benar malu telah memakai bikini
ini. Meski mungkin hanya bagian atas yang terlihat, tapi tetap saja aku malu.
Pipiku memerah saat aku melewati dua orang pelayan yang berhenti membersihkan
perabotan rumah Justin dan tersenyum padaku. Aku hanya menganggukan kepalaku
dengan sopan dan berjalan dengan cepat menuju kolam renang.
Ah,
akhirnya. Aku sudah sampai di luar. Melihat sebuah kolam renang yang
benar-benar luas dan besar. Ada tiga kolam renang dengan bentuk yang berbeda.
Kemudian aku melihat ada kursi santai di pinggiran kolam bersama dengan payung
yang besar. Aku berjalan ke arah tempat itu dan mulai membuka handukku. Kutaruh
handukku di atas kursi dan berpikir. Apa yang sudah kulupakan? Apa? Aku mencari
tahu apa yang kulupa. Ada sesuatu yang kulupa. Kupejamkan mataku dan terduduk
di atas kursi. Apa yang kulupa, ya?
“Lotion?
Sunblock eh?,” ujar Justin yang tiba-tiba saja berada di depanku. Aku membuka
mataku dan melihat tangan Justin yang berada di depan wajahku dengan sebuah
lotion yang ia pegang. Kuraih dan tersenyum padanya. Kemudian dengan semangat
aku mulai membuka lotion dan meneteskannya pada telapak tanganku. Dengan cepat
aku menyebarkan dan merata lotion itu ke seluruh tangan dan kakiku. Leherku
juga. Kemudian perutku dan punggungku. Tapi aku kesusahan di bagian punggungku.
Aku mendongak dan melihat Justin yang menatapku dengan seringainya. Apa yang
lucu?
“Butuh
bantuan?” tanyanya sepertinya tahu kalau aku kesusahan. Dengan malu, aku
menganggukan kepalaku.
“Tolong
bagian belakang,” ujarku sambil memberikan botol lotion itu pada Justin. Aku
langsung memunggungi Justin. Beberapa detik setelah itu, kurasa dinginnya
lotion dari tangan Justin yang mengelus punggungku dengan lembut. Sialan,
tubuhku bergetar kecil karena sentuhannya. Kudengar suaranya yang menggeram
rendah tiba-tiba. Aku memejamkan mataku untuk merasakan belaian dari tangannya.
Kemudian berhenti. Sialan.
“Sudah.
Baiklah, terima kasih telah menggangguku dengan pakaianmu yang benar-benar
terbuka ini. Aku harus kembali bekerja lagi,”
“Dari
mana kau tahu aku memakai bikini?” tanyaku bingung. Maksudku, ia muncul.
“Aku
bekerja di sana,” ujar Justin sambil menunjuk ke atas. Ke sebuah kaca yang
terbuka. Ruang kerja Justin ternyata. Oh, jadi dari sana ia melihatku. Aku
menganggukan kepalaku, kemudian Justin berjalan untuk kembali masuk ke dalam
rumah.
“Nikmati
harimu,” ujarnya. Aku menganggukan kepalaku. Dan lalu ia menghilang.
Kuambil
nafasku dalam-dalam setelah kejadian tadi. Sentuhannya tadi bagaikan listrik
bagiku. Kuhembus nafasku dan terduduk di sisi kolam sambil mencelupkan kedua
kakiku ke dalamnya. Kemudian aku meluncur masuk dan berenang dengan tenang.
Pikiranku
melayang-layang. Mengingat kembali apa yang baru saja terjadi hari ini. Aku
baru saja mendapatkan tattoo. Submissive dalam tulisan Ibrani. Kuharap Maria
tidak melihat tattoo ini. Oh, astaga. Kuharap juga Kathleen tidak melihat
tattoo ini. Karena kurasa, jika ia melihatnya, ia akan menguliti leherku dengan
sebuah pisau. Tapi kurasa itu tidak mungkin. Kuambil nafasku saat kepalaku
muncul ke udara kemudian aku menyelamkan kembali.
*Justin Bieber POV*
Aku
melihat gadis mungil itu menyelam. Gayanya seperti kudanil sekarang. Hanya
kepalanya saja yang muncul di kolam renang itu. Membuatku terkekeh pelan. Ini
adalah pemandangan yang sangat indah. Baru pertama kali, aku mengagumi
kemungilan seorang gadis. Apalagi ia adalah gadis yang berumur 19 tahun. Ia
masih sangat muda. Dan sudah menikah denganku. Persetan dengan pernikahan! Aku
tidak akan pernah menganggapnya lebih dari seorang submisif. Ia terlahir
untukku. Untuk menjadi milikku. Tapi ia hanyalah seorang submisif alami yang
kumiliki selamanya.
Aku
tidak akan pernah mencintainya. Meski aku tahu, ia sangat polos dan seperti
tidak berpikir sebelum berbicara. Tapi itu adalah sebuah keberanian yang hebat.
Ia berbicara jujur padaku. Entahlah, kurasa tentang pacar-pacaran itu, ia tidak
sepenuhnya pacaran dengan Nicholas. Aku tahu itu karena hari sebelumnya ia
bilang padaku kalau ia tidak pernah berpacaran. Aku tahu kapan ia berbohong dan
tidak berbohong. Karena pada dasarnya, ia adalah gadis yang tidak bisa
berbohong. Kulihat kepalanya kembali muncul saat ia sudah menyelam lama sekali.
Ia perenang yang handal.
Aku
pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya. Tapi kapan? Aku tidak tahu. Hanya
saja, itu pasti sudah lama sekali. Wajahnya mirip sepertinya. Tapi siapa? Aku
kagum dengannya saat pertama kali aku bertemu dengannya. Kikuk. Ia seorang
gadis yang kaku dan polos. Saat aku mengetuk pintu rumahnya, ia terdiam melihatku.
Terpaku karena ketampananku. Aku tidak ingin sombong tapi sebagian dari warga
US menginginkan aku. Apalagi aku adalah seorang Millioner. Banyak sekali rumah
yang kumiliki. Tapi hanya rumah ini yang kutempati. Karena kompleks perumahan
ini sudah terjamin keamanannya. Aku tidak ingin ada satu paparazzi mengambil
gambarku dan Anna. Aku tidak suka diikuti. Aku akan melakukan apa saja untuk
menutupi privasi ini.
Saat
tadi aku menyentuh punggungnya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak
menciumi lehernya yang menggiurkan itu. Ia membuatku selalu bergairah. Aku
bahkan ingin pulang cepat-cepat dari restoran karena aku tidak ingin ada
seorang pun melihat aku berereksi di tempat umum. Ini semua karena Anna! Sang
submissive.
Persetan
dengan apa yang ia katakan di dalam mobil tadi! Aku tidak mempercayai sebuah
hubungan. Aku punya kenangan buruk dengan itu. Aku tidak ingin itu terjadi pada
Anna. Aku tidak menginginkan sebuah hubungan karena aku tahu, semua wanita itu
sama! Mereka hanya butuh uang, uang, uang dan uang. Aku benci pembual.
Gadis-gadis di luar tidak tahu apa yang akan kuperbuat pada mereka jika mereka
sudah berada di dalam rumahku. Aku akan memperlakukan mereka secara
semena-mena. Mereka akan lari di rumah ini dengan tubuh yang sudah membiru. Aku
benci wanita yang hanya menginginkan uangku! Jika mereka tidak meinginginkan
uangku, mereka adalah pembual. Pulpen yang kupegang patah begitu saja saat aku
menggeram. Sialan!
Mungkin.
Hanya Anna yang berbeda. Ia adalah submisif yang alami. Tidak mengada-ngada. Ia
tidak bisa berbohong. Dan yang kubutuhkan dalam diri seorang wanita adalah
kejujuran dan kepercayaan. Anna jujur, ia tidak bisa berbohong. Tapi ia percaya
kalau aku tidak akan menyakitinya. Ia penurut dan aku menyukainya.
Tapi
aku tidak yakin.
Satu
hal yang tidak akan pernah terjadi. Aku. Tidak. Akan. Pernah. Mencintainya.
Titik.
****
Aku
belum tahu apa yang Anna sukai. Dia gadis yang menyenangkan. Meski awalnya ia
agak pemalu dan pendiam. Dan saat ia bilang padaku kalau ia bukan gadis yang pendiam,
ia membuktikannya keesokan harinya. Dia benar-benar tidak bisa berbohong. Aku
melihatnya dari atas sini, sedang membungkus dirinya dengan handuk. Seorang
pelayan menghampirinya, kemudian ia menggelengkan kepalanya dengan senyum ramah
menghiasi wajahnya. Kurasa pelayan itu menawarkan segelas minuman untuknya.
Astaga, ia harus belajar untuk hidup mewah. Bahkan ia tidak lebih memilih untuk
mengunduh lagu lewat iPhone miliknya atau mungkin bermain dengan iPhone-nya.
Tapi ia malah memilih untuk berenang di sini. Dia gadis yang sederhana dan
polos.
Aku
terkekeh.
Tapi
kepolosannya sudah kelewat batas. Dan aku belum terlalu tegas padanya. Aku
masih berbaik hati padanya karena aku tahu, dia gadis yang rapuh. Setelah ia
melewati tahun-tahun yang buruk dalam hidupnya. Ia juga harus mendapatkan
keadilan. Untung saja orang tuaku memilihnya untuk menjadi ..Sialan! Istriku.
Sebenarnya, masih banyak pilihan lain yang bisa orang tuaku pilih. Tapi kurasa
karena kecantikan dan kepolosan Anna, ibuku memilih Anna menjadi istriku. Meski
aku tahu, sebenarnya ibuku agak keberatan dengan tingkat perekonomiannya yang
benar-benar di bawah. Jauh berbeda denganku. Ini bagaikan langit dan bumi. Aku
tidak tahu, apa aku bisa melanjutkan kehidupan ini dengannya. Aku ingin ia menjadi
gadis yang nakal. Kurasa kau tahu maksudku. Dan tidak terlalu polos seperti
ini.
Aku
berjalan keluar dari ruang kerjaku. Sial. Maria. Aku harus menghubunginya.
Dengan malas, kembali aku masuk ke dalam
ruang kerjaku tanpa menutup pintunya. Kukeluarkan ponselku dan menghubungi
Maria.
“Maria,”
aku memanggilnya saat ia mengangkatnya.
“Astaga,
Justin! Apa kau serius? Tatto yang tadi kulihat benar-benar tidak cocok
untuknya!” ujar Maria langsung. Sungguh tidak sopan. Ini yang aku tidak suka
dari Maria. Dia orang Inggris, seharusnya ia tahu sopan santun lebih banyak
dibanding orang US. Dan aku tidak peduli pendapatnya tentang tattoo baru Anna.
Aku suka dan aku senang.
“Aku
menghubungimu bukan karena itu. Sial! Apa yang kaulakukan tadi di restoran? Apa
kau gila? Untung saja tadi ia melamun!” aku menggertak padanya. Sungguh, aku
sudah menahan amarahku sekaligus gairahku karena Maria juga Anna. Maria
membuatku marah dan Anna membuatku bergairah.
“Aku
tidak bisa menahan pertanyaan tadi!” ia berujar, membentak lebih tepatnya.
Tanganku benar-benar ingin menampar bibirnya. Astaga, beruntung ia tidak ada di
sini.
“Lain
kali, jangan pernah berbicara tentang hubungan kita di depannya!” aku
memarahinya. Aku tahu sebenarnya ini selesai. Seharusnya, sudah selesai. Tapi
ia, ia wanita yang sangat susah ditolak. Untung saja –terberkatilah aku Tuhan!-
ada Anna yang keseksian melampaui batas kemauanku. Sehingga aku bisa lebih
memerhatikan Anna dibanding Maria. Ya, dia adalah mantan submissive-ku. Tapi
Maria ..aku tidak tahu apa yang ada di otaknya, aku sudah berusaha untuk
menjauhinya di kantor. Tapi ia terus menggodaku –meski di dalam ruang kerjaku
saja- tapi tetap saja aku tidak bisa memecatnya. Ia memiliki potensi yang besar
terhadap perusahaanku. Dan ia sebenarnya adalah asistenku yang sangat baik
–sebelum ia menjadi submissive-ku.
“Aku
tidak mengerti denganmu Just—“
“Maria,
berhenti. Aku hanya ingin membicarakan dan menekan ini satu kali saja dan kau
harus mendengarnya baik-baik atau kau kupecat!” tuntutku padanya, kudengar ia
terkesiap.
“Jangan
pernah sekali-kali membicarakan hal itu lagi di depan Anna. Ia sudah menjadi
submissive-ku dan kau tahu, dia gadis yang polos. Jangan sampai kau menyakiti
hatinya atau apa pun. Apalagi saat kau mencoba untuk membuatnya cemburu tadi,
itu sangat tidak berhasil. Mengerti?”
“Hmm,”
ia menggumam, kurasa ia sedang berpikir.
“Kubilang
mengerti tidak, sialan?!” kali ini aku membentaknya. Ia terkejut.
“Ya,
Mr. Bieber. Mengerti,” ujarnya membalasku.
“Bagus,”
aku mematikan ponselku.
Kubalikan
tubuhku untuk kembali keluar dari ruangan sial ini. Suasana ini membuatku
benar-benar tidak nyaman. Tapi aku berhenti melangkah. Aku melihat Anna yang
berdiri di ambang pintu kerjaku. Astaga, sudah berapa lama ia berdiri di sana?
Dan dari mana ia tahu jalan untuk sampai ke sini? Astaga, ini benar-benar
membuatku tidak nyaman. Aku masih diliputi amarah dan ia ..astaga, Tuhan,
ampunilah dosa-dosaku, gadis ini berdiri di ambang pintu dengan handuk yang
menutupi tubuhnya dan aku sangat yakin ia hanya mengenakan bikini. Jakun
naik-turun, tergiur akan hidangan makanan kesukaanku mulai dari sekarang.
“Justin,”
ia berbisik, malu. Pipinya memerah. Dia manis.
“Sudah
berapa lama kau berdiri di sana?” tanyaku, was-was.
“Aku
baru sampai saat kau mengatakan ‘bagus’ , entah kepada siapa. Siapa itu
Justin?” tanyanya tanpa berpikir. Jika ia bukan submissive kesukaanku, aku
pasti sudah memukulnya. Lancang sekali ia bertanya seperti itu pada Mr. Bieber.
Dan aku yakin, ia mencoba untuk berbohong padaku. Dia pasti sudah lama berdiri
di sana.
“Anna,
jangan bohong,” ujarku mulai menyatukan alisku. Kemudian Anna mendesah pelan.
Ia menautkan kedua alisnya.
“Baiklah,
aku sudah mendengarnya dari saat kau bilang jangan menyakitinya. Dan jangan
membuatnya cemburu. Entahlah, mungkin seperti itu yang kaubilang. Tapi dari
siapa?” tanyanya. Ia jujur. Aku mendesah dan menggelengkan kepalaku.
“Kemarilah,”
suruhku padanya sambil merentangkan tanganku agar aku bisa memeluknya. Ia
berjalan dan melepas handuknya tiba-tiba. Ya Tuhan. Mataku melebar. Kemudian ia
memelukku dengan erat. Tubuhnya tidak begitu basah, hanya rambutnya saja.
“Itu
tidak penting. Bagaimana kalau sekarang kita mandi bersama?” tanyaku mengelus
punggungnya dengan lembut. Astaga, apa Anna adalah bayi raksasa? Tubuhnya
benar-benar halus dan lembut. Ia mendongak dan aku menunduk. Kukecup bibirnya
yang lembut itu dengan pelan.
“Mandi
bersama?”
“Ya,
ayo,” aku mengajaknya sambil mengangkat kedua pahanya sehingga sekarang kakinya
mulai melingkari pinggangku. Dia benar-benar ringan.
***
*Anna Bieber POV*
Aku
tidak tahu apa yang tadi Justin diskusikan. Tapi percakapannya tadi di telepon
benar-benar manis dan terdengar tulus. Ia tidak ingin ada yang menyakitiku.
Tapi ia menuturkannya pada siapa? Aku benar-benar penasaran. Tapi aku tidak
suka saat Justin memanggil orang itu dengan panggilan ‘sialan’. Pasti orang itu
memiliki nama. Dan tadi sore, ia memandikanku. Sungguh, itu adalah pengalaman
pertama aku mandi dengan seorang lelaki. Dan sekarang aku sedang menikmati pemandangan
yang indah. Justin sedang mengganti pakaiannya sedangkan aku terduduk di atas
kasur. Mataku tak pernah lepas dari lekukan tubuhnya dan otot-ototnya yang
terpahat oleh Tuhan dengan sangat indah. Aku tidak pernah menyangka kalau aku
akan mendapat Dewa Yunani seperti Justin. Apalagi tadi ia menyetubuhiku di
dalam kamar mandi dengan sangat lembut. Astaga, aku mendapatkan tiga kali
orgasme. Entah apa yang membuatnya senang hari ini, tapi kakiku tadi rasanya
ingin patah akibat beratnya tubuhku.
“Apa?”
tanya Justin saat ia memasukan tubuhnya ke dalam pakaian tidur. Ia memakai baju
tidur yang berwarna biru dan bergaris-garis putih. Dia kelihatan seperti ayahku
yang ingin tidur. Tapi ia lebih tampan dan gagah. Aku menggelengkan kepalaku.
Malam ini aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Justin. Maksudku, apa
yang akan kulakukan selain tinggal di rumah? Aku tidak memiliki siapa-siapa di
sini. Aku belum mengenal pelayan-pelayan di sini.
“Apa
yang kaupikirkan, Anna?” tanya Justin mendekatiku. Kuangkat kedua bahuku dengan
acuh.
“Aku
tidak memiliki siapa-siapa di sini,” ujarku, mencoba untuk tidak menatapnya.
Tapi sial! Aku terpaku dengan keindahan matanya.
“Apa?
Kau ingin aku membelikanmu apa?”
“Aku
ingin seekor anjing,” ujarku menundukan kepalaku dengan malu-malu. Astaga, apa
ini saat yang tepat untuk mengajukan pertanyaan itu? Karena kurasa, jika aku
memiliki anjing di sini, setidaknya aku memiliki pekerjaan untuk mengurusi
anjing. Aku ingin anak anjing.
“Anjing
eh?” tanya Justin sambil menarik daguku agar ia bisa melihat mataku. Dengan
pipi yang memerah, aku menganggukan kepalaku.
“Iya,
aku ingin anjing jenis Pom. Pasti dia akan sangat lucu,”
“Apa
kau akan berjanji untuk tidak membuatnya merengek pada malam hari?” tanya
Justin terus memegang daguku dengan jari telunjuk dan jempolnya. Kuanggukan
kepalaku.
“Aku
akan merawatnya sebaik mungkin. Aku ingin dua,” ujarku malu-malu dan memejamkan
mataku. Astaga, tatapannya tadi sangat intens. Sama seperti saat tadi ia
menatapku di kamar mandi. Saat aku mendapatkan pelepasan dan ia memintaku untuk
tidak memejamkan mataku. Dan itu benar-benar intens. Tiba-tiba apa yang berada
di bawahku berdenyut-denyut.
“Betina
dan jantan?” tanyanya, “buka matamu, Anna,” suruhnya. Aku melakukannya.
“Ya.
Aku ingin anjingku memiliki anak,”
“Dan
kau akan menamai mereka siapa?” tanyanya lagi. Ia mendekatkan bibirnya dengan
bibirku kemudian ia membelainya, tidak menciumku. Hanya menggesek-gesekannya di
sana. Terus menerus, membuatku memejamkan mata. Sialan, apa yang sebenarnya ia
lakukan?
“Bee
dan Boo,” ujarku di hadapan bibirnya.
“Maka
kau akan mendapatkannya,” ujarnya kemudian bibirnya menekan bibirku
dalam-dalam. Mulutku terbuka sehingga ia dapat melesakan lidahnya ke dalam
mulutku dan bereksplorasi di dalamnya. Kali ini aku lebih bereaksi padanya.
Kutaruh tanganku ke belakang lehernya untuk memperdalam ciuman ini dan
menariknya untuk menindih tubuhku. Aku hanya ingin ciuman panas. Tidak lebih.
“Nakal,”
bisiknya tertawa dan mengecup bibirku terus menerus. Aku suka mendengarnya
tertawa. Kemudian aku melepas ciuman ini, memberi jarak antara wajahku dengan
wajahnya.
“Apa
kau menyukai Anna yang nakal? Mana yang kau lebih suka? Anna polos atau Anna
yang nakal?” tanyaku menggodanya. Ia menyeringai padaku kemudian terkekeh.
“Menantang
eh?” tanyanya dengan gaya bicaranya yang khas.
“Aku
hanya bertanya, Justin,”
“Aku
menyukainya dua-duanya,” ujarnya kembali mengecup bibirku.
***
“Anna!”
aku mendengar Justin berteriak. Apa? Apa yang terjadi? Saat aku sedang sibuk
melihat layar ponselku untuk mengunduh sebuah lagu, tiba-tiba saja suara Justin
membuatku tersentak. Bangkit dari tempat tidur, aku berlari keluar dari kamar.
Astaga, padahal baru dua jam yang lalu ia pergi berangkat kerja. Dan mengapa ia
cepat sekali kembali? Aku berlari menelusuri tangga dan melihat Justin yang
terduduk di atas sofa dengan salah satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain.
Ia
kelihatan bersih dan pakaiannya yang formal membuatnya sangat tampan, lebih
dari pada biasanya. Kudekati Justin. Aku hanya memakai celana pendek biasa dan
kaos berwarna hijau. Justin menelengkan kepalanya ke salah satu sisi dan
tersenyum aneh padaku. Seakan-akan ia bingung denganku. Apa yang salah?
“Warna
hijau cocok dengan kulitmu,” ujarnya. Ternyata ia menilai pakaianku. “Lihat apa
yang kubawa,” ujarnya.
“Apa?”
“Kemarilah,”
ia menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Aku duduk di atas sofa, bersebelahan
dengannya. “Tutup matamu,” perintahnya. Aku memejamkan mataku.
“Apa
yang kau suka Anna?” tanyanya, aku ingin membuka mataku, “jangan mengintip!” ia
menegurku. Kembali aku menutup mataku dengan erat. Benar-benar gelap.
“Aku
menyukai music Jazz,”
“Musik
Jazz eh? Berarti kau menikmati musik pernikahan kita bukan?” tanyanya, meski
dalam nada bicaranya saat menyebutkan kata ‘pernikahan’ terdengar begitu
enggan. Aku menganggukan kepalaku.
“Aku
juga suka music Jazz, siapa yang kau suka?”
“Frank
Sinatra?”
“Aku
juga. Selain itu, apa yang kau suka?”
“Aku
menyukai anjing,” ujarku ingat perkataanku kemarin. Astaga, apa Justin
membawakanku anjing Pom? Oh, kumohon. Semoga itu benar-benar terjadi.
“Buka
matamu,” suruhnya. Kemudian aku membuka mataku. Itu bukan anjing. Hatiku sedih,
tapi aku mencoba untuk tersenyum padanya. Dia memberikanku kalung. Kalung emas
murni berada di telapak tangannya.
“Apa
aku boleh memegangnya?” tanyaku hati-hati.
“Tentu
saja, itu milikmu,” ujarnya. Aku langsung mengambil dan menyentuhnya.
Liontinnya berbentuk huruf B. Mungkin inisial dari Bieber. Senyumku semakin
melebar. “Biar kupakaikan, berbaliklah,” ujarnya. Kemudian aku duduk,
memunggunginya. Kuikat rambutku dengan jariku dan mengangkatnya agar Justin
mudah memakaikan kalungnya.
“Kulitmu
benar-benar halus,” ujarnya setelah memakaikan kalung ini. Ia mengecupnya
dengan pelan, membuat tubuhku bergetar. “Berbaliklah, aku ingin melihatnya,”
ujarnya. Aku melakukan apa yang ia katakan. Tapi sebelum aku tersenyum untuk
berterima kasih padanya. Mataku melebar. Astaga!
“Bee
dan Boo?” aku menjerit kesenangan. Astaga, Justin benar-benar memberikanku dua
anjing. Aku sungguh senang. Dua kandang yang berbeda telah berada di atas
karpet. Yang satu warna ungu dan satunya lagi berwarna merah muda. Justin
menganggukan kepalanya dan tersenyum miring padaku.
“Apa
pun yang kauinginkan, aku ingin memenuhinya. Anjing ini milikmu. Tapi aku
memiliki satu syarat.” ujarnya sambil menyipitkan matanya. Syarat? Jantungku
berdetak kencang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar