Jumat, 02 Agustus 2013

Rolling the Camera Bab 6 - End


****

            “Di mana dia?” tanyaku saat aku dan Justin sudah sampai di rumah sakit jiwa. Astaga, ruangan-ruangan di sini bahkan terbuat dari besi. Dan pintunya tertutup rapat sekali, hanya ada jendela kecil berbentu persegi panjang di sana. Yang dimana hanya suster yang bisa membukanya dari luar untuk melihat keadaan si gila. Untung saja ada Justin yang berada di sampingku sekarang.
            “Di ruangan ini,” ujar suster yang membawa kami ke depan pintu besi. Ruangan ini berada di ujung dan di tengah-tengah. Oh, malangnya Zayn. Pasti dia sangat kesepian. Aku tidak mendengar suara-suara teriakannya atau tawaannya seperti orang gila. Tidak seperti yang lain. Maksudku, orang gila di sini. Suster itu membuka jendela yang berada di pintu itu sehingga aku bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Aku tidak melihat Zayn.
            “Zayn, kaukah itu?” tanyaku pelan-pelan. Justin yang berada di belakangku meremas bahuku yang ia pegang. Aku juga ketakutan! Bagaimana jika tangannya tiba-tiba saja keluar? Oh, itu tidak akan terjadi. Aku bisa yakinkan itu. Maksudku, aku takut matanya saat ia menatapku.
            “Siapa kau?”
            “Alexis, bagaimana kabarmu?”
            “Oh sayang. Kenapa kau datang ke sini?”
            “Aku hanya ingin melihat keadaanmu,” ujarku pelan-pelan. “Bagaimana perasaanmu?” tanyaku.
            Aku menunggunya untuk menjawab pertanyaanku. Hening, tapi sebenarnya tidak terlalu hening karena banyak teriakan-teriakan orang gila di sini. Kutelan ludahku untuk membuka mulut. “Apa kau ingin menunjukan dirimu?” tanyaku lagi. Hening kembali.Kubalikan tubuhku untuk melihat Justin.
            Wajah Justin tampak menegang. Oh, ada apa dengannya? Matanya bertemu dengan mataku. Terlihat sekali kalau ia sedang marah. Mungkin karena aku memaksanya untuk ikut denganku ke sini.
            “Dia tidak mau menjawabnya. Bisakah kita pulang?” tanya Justin akhirnya mengeluarkan suara. Aku belum ingin pulang sebelum aku benar-benar memastikan kalau Zayn benar-benar gila. Dan aku berharap Zayn gila selamanya. Kalau pun ia sudah tidak gila, aku harap ia tidak terobsesi padaku dan atau bahkan melupakanku itu lebih baik. Justin menatapku dalam-dalam dan mulai mengecup bibirku.
            “Kita pulang,”
            “Tidak,” aku menolaknya. Kemudian aku membalikan tubuhku. SIALAN! Aku benar-benar terkejut saat tiba-tiba aku melihat wajah Zayn yang berada di balik jendela kecil itu. Matanya benar-benar menyeramkan dan dia tersenyum-senyum padaku.
            “Hello, Alexis,”
            “H-hai,”
            “Kau berpacaran dengannya? Ahaha!” Zayn tertawa terbahak di tempatnya sampai ia memegang perutnya. Benar-benar gila. Oh, Tuhan, ini benar-benar menyeramkan. Aku menelan ludahku dan memundurkan tubuhku hingga sekarang punggungku sudah menempel pada dada Justin. Dapat kurasakan jantung Justin yang juga berdetak dengan cepat. Tangannya yang berada di bahuku juga semakin mengerat. Aku tidak tahu apakah dia takut atau ia marah karena tingkah Zayn yang gila. Tiba-tiba Zayn terdiam dan melihat mataku, langsung!
            “Alex, aku di sini berusaha untuk berubah menjadi gay! Tapi di sini tidak ada lelaki. Oh bagaimana bisa aku mencintai seorang lelaki? Aku ingin seperti dia! Ahahahaha!” tawa Zayn yang membuatku bergidik. Tawaannya benar-benar menyeramkan. Aku membalikan tubuhku dan menatap Justin dengan bingung. Apa Zayn benar-benar ingin berubah menjadi gay? Apa maksudnya melakukan itu? Aku tidak peduli. Yang jelas aku sudah tahu kalau Zayn sudah benar-benar gila.
            “Kita pulang, tanganku sangat gatal jika berlama-lama di sini,” ujar Justin kali ini menarik tanganku.
            “Alex! Kau mau kemana jalang?! Alex!” teriak Zayn saat ia melihatku menjauh. Ia menggedor-gedor pintu besinya dengan brutal dan saat aku berbalik, matanya melihatku penuh dengan ketakutan dan kehilangan. Aku kasihan dengannya. Tapi di satu sisi aku juga membencinya.
            “Aku pastikan dia sudah benar-benar gila,” ujar Justin semakin menarik tanganku.

****

            “Mengajakku kencan?” tanyaku terkejut dengan ucapan Justin setelah kami sudah sampai di Escala. Oh, di mana? Kapan? Aku tidak tahu. Tapi yang jelas ini sangat membingungkan. Justin Bieber mengajakku kencan?
            “Di tempat yang di mana hanya aku dan kau,” ujarnya dengan pelan. Aku yang terduduk di atas kasur melihatnya berjalan berbolak-balik sambil jari telunjuknya menepuk-nepuk bibirnya. Hari ini tidak ada pengambilan gambar lagi. Besok kita baru melanjutkannya. Dan impianku untuk memperpanjang kontrak kerja ternyata terjadi! Padahal aku tidak pernah mengutarakan itu pada Gavin. Aku harus memberikan tampilan yang maksimal. Aku tersenyum sendiri bagaikan orang gila.
            “Apa yang kaupikirkan?” tanyanya.
            “Aku hanya berpikir tentang aktingku yang harus maksimal setelah Gavin memberikan keregangan waktu agar kita tidak akan begitu kelelahan. Bayangkan satu hari kita bisa mengambil satu adegan! Hanya satu adegan. Tentunya itu akan kita ulang berkali-kali untuk mencari yang terbaik,” ujarku penuh dengan kegirangan.
            “Aku senang jika kau bahagia. Kau tahu, aku sudah benar-benar mengenyahkan Theo dari kehidupanku,” ujar Justin yang membuatku berhenti tersenyum. Apa maksudnya? Dia mengenyahkan Theo? Membunuhnya? Oh tidak. Mungkin saja itu terjadi. Aku menatap ngeri pada Justin namun kulihat ia langsung terkekeh. Ia menatapku dengan geli seakan-akan aku benar-benar lucu.
            “Aku bukan membunuhnya,” ia berucap seakan-akan ia bisa membaca pikiranku. “Dia sudah membenciku. Eh, apa kau sudah membaca majalah hari ini”? tanya Justin mengubah topik pembicaraan. Baiklah, tidak apa-apa. Kugelengkan kepalaku. Aku memang benar-benar tidak tahu. Bahkan ini sudah sore. Paparazzi mengambil gambar kami saat kami keluar dari rumah sakit jiwa. Kuharap tidak ada orang-orang di dalam sana memberi tahu kalau Zayn adalah orang yang berurusan denganku. Aku berharap Zayn tinggal di sana dalam jangka waktu yang lama.
            “Siang tadi aku melihatnya saat aku menandatangani majalah penggemarku. Justin Bieber Diselamatkan Alexis Bledel,” ujarnya penuh dengan kebanggaan. Mengapa ia terlihat bangga? Seharusnya aku yang bangga karena aku telah menyelamatkannya dari ke-gay-annya. Itu benar-benar sebuah anugerah jika Justin benar-benar normal. Masalahnya aku tidak tahu apa Justin sudah normal atau tidak. Siapa tahu masih ada lelaki yang ia sukai selain Theo.
            “Lalu mengapa?” tanyaku acuh. Senyum kebanggaan Justin menghilang.
            “Aku bangga padamu. Aku normal sayang, mari kita rayakan itu bersama dengan malam kencan kita yang pertama,”
            “Kau? Normal? Oh Tuhan,” aku jatuh ke atas kasur, punggungku sudah berciuman dengan kasur sekarang. Kupejamkan mataku. Bersikap seperti sebenarnya bukan aku yang mau. Ini hanyalah refleks akan keterkejutanku terhadap Justin yang sekarang sudah menjadi normal. Benarkah ia sudah benar-benar normal? Ia sudah menindih tubuhku. Oh Tuhan. Astaga. Kubuka mataku dan sudah mendapatkan Justin yang melayang di atas tubuhku. Ia tersenyum manis dan memberikan tatapan mata yang menggoda.
            “Tidak percaya?” tanyanya. Aku menganggukan kepalaku.
            “Bagaimana kalau kita membuktikannya?” tanya Justin mulai melepaskan salah satu kancing kemeja putihku. Jari-jarinya yang panjang mulai menyentuh kulitku yang hangat. Aku merinding, kenikmatan.
            “Bagaimana caranya?”
            “Seperti ini,” ia mulai merobek kemejaku dengan kasar. Kancing-kancing bajuku terlepas semuanya. Aku terkejut dengan sikapnya yang kasar.
            “Tenang. Itu hanyalah permulaan semata. Aku akan memperlakukanmu selembut mungkin,” ujarnya mulai memagut bibirku. Oh, melakukannya dengan lembut. Aku juga ingin melakukannya.

***

            “Jadi, normal, eh?” tanyaku menggoda Justin yang duduk berhadapan denganku. Ia yang sibuk memakan makanannya langsung berhenti. Matanya langsung bertemu dengan mataku. Ternyata Justin memiliki restoran sendiri. Ia menutup restoran ini demi kencan pertama kami. Hanya ada aku dan Justin di sini. Pelayan-pelayan di restoran ini harus bersembunyi di balik dapur karena jika tidak Justin akan memecat mereka. Itu kata Justin saat Justin masuk ke dalam dapur dan menyuruh semuanya untuk keluar dari restoran selama mungkin satu jam. Sehingga tinggal aku dan Justin di sini. Sendirian.
            Aku tidak memakai gaun. Aku hanya baju terusan hingga selutut yang berwarna hitam dengan corak bunga-bungaan. Kali ini Justin memintaku untuk menggeraikan rambutku dengan jepitan berbentuk bunga di atas telinga sebelah kiri. Kata Justin aku benar-benar manis. Aku benar-benar tersipu dengan ucapannya yang menggodaku.
            “Ya, kau akan menjadi yang pertama,”
            “Pertama?”
            “Pacar perempuanku yang pertama?”
            “Aku tidak pernah menerimamu sebagai pacarku,”
            “Oh ya, memang tidak. Tapi kau akan menjadi pacarku segera,” ujarnya penuh dengan rasa optimis. Aku menyukainya. Mungkin belajar mencintai seorang yang bukan dalam tokoh ‘imajinasi’ bisa juga dilakukan. Apalagi dia benar-benar manis, lucu, penggoda yang ulung, pencium yang ulung, bahkan ia adalah lelaki ternyaman yang pernah kutemui. Berada di sebelahnya sangat terlindungi dan aman juga nyaman. Aku rasa aku benar-benar menyukai lelaki dalam dunia nyata. Bukan karena ia seorang yang benar-benar mirip dengan lelaki dalam bayanganku. Dia sudah normal. Oh, tadi sore benar-benar sore yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
            “Bagaimana jika aku tidak mau? Apa kau akan memaksaku?”
            “Aku akan membuatmu bertekuk lutut di hadapanku,” Wow! Ancaman dari seorang Justin Bieber. Cukup menyeramkan. Aku kembali memakan makananku sampai habis. Saat selesai, aku menatap Justin yang sedang meneguk anggurnya dengan tenang. Oh, dia terlihat seperti Malaikat pencabut nyawa bagiku. Kemudian ia berdiri setelah ia mengelap mulutnya dengan serbet. Tangan kanannya ia ulurkan untuk menggapai tanganku. Aku mengambil tangannya dan ikut berdiri.
            “Oh, Miss Bledel. Kau sangat cantik,” ujarnya menarik pinggangku untuk bersentuhan dengan tubuhnya yang benar-benar tegap.
            “T-terima kasih,” aku gugup! Sialan, aku gugup di depan Justin Bieber? Ini adalah hal yang sangat memalukan. Kurasa pipiku memerah kembali.
            “Gugup Miss Bledel?” tanya Justin menunduk untuk melihatku yang mendongak. Aku mengangkat kedua bahuku. Bibirnya mulai mengecup bibirku.
            “Oh, Miss. Bledel, kau sangat manis. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika kau menolakku,”
            “Menolak apa?”
            “Menolakku untuk menjadi pacarmu,” ujarnya yang membuatku benar-benar berbunga dalam otak dan hatiku. Justin benar-benar menginginkanku. Sialan, setelah kejadian-kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini, ia menginginkan aku! Justin Bieber menginginkan dengan serius. Astaga, aku tidak percaya. Mataku terpaku dengan matanya yang berwarna abu-abu itu.
            “Jadi bagaimana Miss. Bledel? Apa kau sudah siap untuk mengarungi dunia dan waktu bersama Mr. Bieber tampan  ini?” ia menatapku, menggodaku. Kuanggukan kepalaku.
            “Tentu saja. Kapan pun.” Ujarku kali  ini memajukan kepalaku untuk mencium bibirnya. Dan, bibir kami benar-benar bertemu. Kali ini lebih lama.
            Siap mengarungi dunia bersama Mr. Bieber? Kapan pun! Dengan senang hati.


****

Justin Bieber-Alexis Bledel Dinobatkan sebagai Pasangan Terbaik Tahun Ini” : “Aku tidak tahu mengapa mereka begitu senang dengan hubungan kami. Tapi dari semua itu, aku sangat berterima kasih kepada yang sudah mendukung hubungan kami. Itu adalah nilai besar bagi kami. Alexis memang pasangan yang sangat manis. Kurasa aku harus menyiapkan cincin untuknya,” tukas Justin Bieber pada majalah Forbes dua hari yang lalu.

“Fifty Shades Movie Menjadi Film Terbaik Tahun Ini” : Seperti tidak tahu batas, bioskop-bioskop US penuh tiap harinya dikarenakan film Fifty Shades – E. L James. Seperti yang dikatakan E. L James beberapa saat yang lalu, “Saya sangat bangga dengan Justin dan Alex. Mereka telah mengatasi semuanya. Ditambah lagi mereka juga sudah menjadi pasangan, sehingga itu sangat mendukung peran Ana dan Christian. Dan saya sangat bangga karena film ini sukses  besar!”

“Justin Bieber Ingin Lamar Alexis Bledel?” : Justin Bieber melansirkan pada media massa tentang hubungannya bersama Alexis Bledel. Setelah menjadi gay selama beberapa tahun, akhirnya Justin mendapatkan wanita yang benar-benar wanita, “Aku tidak tahu. Mungkin aku ingin mengajaknya ke jenjang yang berikutnya. Cincin ini akan berguna kelak,” ujar Justin penuh dengan rasa percaya diri. Akankah Justin Bieber melamar Alexis Bledel?

            Aku ingin mati saat aku membaca majalah-majalah yang telah dikumpulkan oleh Dravin. Sialan benar. Bagaimana mungkin Dravin bisa mengumpul majalah-majalah aneh ini? Sangat memalukan saat aku tahu kalau aku dan Justin adalah pasangan terbaik tahun ini. Padahal kami belum dinominasikan dalam kategori ‘pasangan terbaik’ atau ‘ciuman terbaik’. Kudongakan kepalaku, melihat pada Dravin yang terduduk di atas kursi mobil sambil melipat tangannya di dadanya yang bidang, ia tersenyum padaku.
            “Aku benar-benar bangga pada kalian berdua,” ujarnya lagi, untuk yang kesekian kalinya. Telingaku rasanya ingin dipotong begitu saja jika ia akan mengucapkan kata-kata itu lagi. Kami sedang berada di dalam pesawat. Dan seharusnya, Dravin tidak ada di ruangan ini. Maksudku, ini adalah pesawat pribadi Justin. Eh, bukan, bukan. Maksudku, bukan karena Dravin tidak boleh ikut masuk ke dalam pesawat ini. Hanya saja, pesawat ini mempunyai satu kamar untukku dan Justin. Sedangkan Dravin masuk dengan lancang ke dalam sini. Dan hanya untuk memberitahu bahwa kata-kata dari majalah.
            “Kurasa aku harus pergi,” tukas Dravin akhirnya berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu keluar. “Selamat bersenang-senang selama perjalanan. Paris sudah menunggu kita,” ujarnya saat ia sudah membuka pintu dan kemudian menutup kembali setelah ia keluar. Aku mendesah pelan dan melihat Justin yang berada di sebelahku. Dari tadi ia hanya diam, tak bersuara. Sudah seharian ini ia tidak bicara. Aku melepaskan tangan Justin dan berjalan menuju tempat tidur.
            “Kau mau tidur denganku atau tidak?” tanyaku dengan lemas. Untung saja aku telah mengganti pakaian tidur sebelum aku masuk ke dalam pesawat ini –memang tidak elit-. Kutatapi Justin yang masih terduduk di atas kursi dan menatapku dengan tatapan kosong kemudian ia mendesah dan berdiri.
            “Aku tidak mengerti,” ujarnya yang membuat kerutan pada keningku.
            “Tidak mengerti? Maksudmu apa?”
            “Aku tidak mengerti mengapa kau begitu ..bingung,” ucapannya benar-benar membuatku bingung. Ia berjalan ke arahku dan mulai melepaskan sepatu yang ia pakai kemudian kaos kakinya. Aku sudah menarik lepas selimut yang berada di bawahku agar aku bisa berada di baliknya.
            “Maksudku, wajahmu. Apa kau tidak senang dengan apa yang dikatakan majalah-majalah itu? Aku bahkan juga sudah membuka suara, apa kau tidak tahu apa maksudku? Wajahmu tadi terlihat begitu bingung,” ujar Justin. Oh, kurasa ia menginginkan pernikahan setelah kami menjalankan hubungan pacaran ini selama 1,5 tahun. Itu waktu yang cukup lama dan perjalanan yang cukup lama. Kulihat Justin melepaskan dasi miliknya dan kerahnya sudah tidak rapi lagi. Sehingga kerahnya menutupi lehernya yang benar-benar menggiurkan untuk dicium. Sudah tiga hari ini aku dan Justin tidak berhubungan badan karena kesibukan kami untuk mempromosikan film Fifty Shades ini di berbagai Negara.
            “Oh Justin, aku sangat senang. Aku sangat sengan dengan apa yang kau dan James katakan, kita adalah pasangan terbaik tahun ini. Bayangkan itu Justin,” aku berusaha untuk terlihat ceria padanya. Kuulurkan kedua tanganku padanya. Ia mengulurkan tangannya padaku juga dan aku langsung menariknya untuk jatuh di atas tubuhku.
            “Aku senang saat kau bilang kalau aku adalah pasangan yang manis,” ujarku mengelus rambutnya dengan jari-jariku dan tidak berani melihat matanya. Karena aku tahu ia menatapku begitu intens. Dan itu semua akan berujung pada bagian bawahku, di sana. Akhirnya mataku bertemu dengannya setelah ia tidak membalas ucapanku.
            “Alex,” ia mendesah pelan dan memejamkan matanya selama beberapa detik. Kemudian terbuka begitu saja, menatapku begitu intens dan dalam, “apa kau tidak bosan dengan hubungan seperti ini terus menerus? Aku ingin memiliki istri,”
            “Istri?” aku berpura-pura terkejut. Ia menganggukan kepalanya dan menelan ludahnya. Jakunnya naik turun terus menerus. Aku tahu ia tidak berbicara. Ia baru denganku. Aku adalah wanita pertama baginya. Dan aku rasa aku tidak bisa menikah secepat ini. Ibuku akan membunuhku jika aku menjawab, Ya, pada Justin. Karena umurku masih 24 tahun. Mungkin Justin bisa menunggu satu tahun lagi, maka aku menjadi miliknya sepenuhnya. Aku juga ingin sekali menikahi dengannya. Menjadi istrinya. Memiliki keturunan darinya. Setelah apa yang ia lakukan padaku selama setahun setengah ini. Manis, perhatian, seolah-olah kita tidak pernah tahu kalau sebelumnya ia adalah seorang yang gay. Ia bisa memperlakukan wanita seperti yang semestinya. Aku percaya padanya saat banyak berita yang mengatakan kalau ia berselingkuh padanya, tapi aku tahu, ia tidak melakukan itu setelah ia berbicara denganku yang sebenarnya. Hubungan tanpa pertengkaran bukanlah hubungan yang sebenarnya. Kukecup bibir Justin selama beberapa detik kemudian melepasnya.
            “Kau. Ingin. Menjadi. Suamiku?” tanyaku dengan ragu. Ia menganggukan kepalanya. Kali ini siku-sikunya sudah berada di kedua kepalaku. Sehingga wajahku dan wajahnya begitu dekat. Bahkan aku bisa merasakan nafasnya yang lembut menerpa wajahku. Aku ingin tersenyum kesenangan karena kedekatan ini.
            “Aku ingin menjadi suami terbaik di dunia ini. Karena aku tahu, aku akan memiliki istri terbaik di dunia ini. Hanya untukku. Kesediaannya terbatas!” ujarnya yang membuatku ingin tertawa, “dan tidak rusak,” tambahnya lagi yang membuatku terkekeh. Kuremas rambutnya dengan lembut dan semakin tertawa, mengingat Theo yang menangis karena jaketnya. Oh, astaga, orang itu benar-benar lucu. Kuharap ia sudah menjadi normal. Terakhir aku melihatnya, ia sedang menggandeng seorang wanita berambut pirang yang aku dan Justin tidak tahu siapa dia. Kebetulan, saat itu kami sedang sarapan di IHOP dan aku tak sengaja melihat Theo di sana. Semoga dia juga menjadi normal. Aku tidak tahu.
            “Bahkan hanya ada satu di dunia. Hanya untukku. Tuhan menciptakan kau itu untukku, mengerti, Kimberly Alexis Bieber, sayangku?” ujarnya yang membuatku melayang. Astaga, nama itu. Nama yang selama ini kuidam-idamkan. Nama lengkap. Aku tidak bisa menahan ini. Aku juga ingin menjadi istrinya. Persetan dengan pengaturan yang telah ditetap ibuku! Aku menginginkan Justin, aku mencintainya. Aku ingin menghabis seluruh sisa waktu hidupku dengan Justin. Mencintainya adalah pekerjaanku.
            “Aku akan membawamu ke tempat yang kau mau. Kau mau kemana? Jepang? Israel? Inggris? Katakan saja Alex, aku ingin mewujudkan segala impianmu,”
            “Impianku yang terakhir adalah memilikimu. Dan itu sudah terjadi,” ujarku mulai melingkarkan tanganku di sekitar lehernya.
            “Pertemuan pertama dan kesan pertama yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku adalah saat aku melihatmu. Bahkan saat pertemuan pertama, aku sudah mencium bibirmu. Sekarang, aku sudah mencium seluruh tubuhmu,”
            “Justin!” Dia terkekeh saat aku menegurnya.
            “Jadi, Alex, aku sudah membeli barang ini lama sekali. Sudah lama sebelum aku dan Theo berpacaran. Bangkitlah,” ujarnya mulai bangkit dari tubuhku dan menarik tubuhku agar aku terduduk berhadapan dengannya. Ia merogoh kantong belakang celananya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin. Dia benar-benar ingin melamarku.
            “Dulu aku sempat berpikir, siapa yang akan menjadi pasangan hidupku kelak? Apakah dia akan menjadi lelaki atau wanita? Aku tidak yakin dengan kedua itu. Apakah aku akan memiliki keturunan jika aku menikah dengan seorang lelaki? Dan setelah aku sadar, itu adalah pertanyaan bodoh,” ia terkekeh pelan, mataku mulai panas, “Tapi kau di sini. Berhadapan denganku. Memberiku harapan yang begitu besar. Aku menginginkanmu, Alex. Lebih dari apa pun. Jadi, Alex, apa kau ingin menerima lamaran tulus dariku?” tanyanya sambil membuka kotak cincinnya. Aku terperangah. Kemudian aku menangis, memecah. Dan menutup wajahku dengan telapak tanganku. Astaga, ini sangat berlebihan. Lamaran ini. Lamaran dari seorang Justin Bieber. Lelaki yang awalnya aku sangat benci dan menjijikan tapi dia juga sudah berada di sini. Di hadapanku, mengajukan sebuah lamaran. Sebuah lamaran yang akan mengubah seluruh hidupku secara total!
            “Alex,” ia bersuara kembali. Kuseka hidungku dan mataku. Mulai menatap matanya. Sekitar mataku berair. Ini sangat berlebihan! Aku tidak sanggup untuk menampung semua perasaan ini. Kebahagiaan ini. Oh, Tuhan. Aku adalah manusia yang beruntung. “Kau boleh menciumku jika kau menjawab Ya,” tambahnya lagi. Kumajukan wajahku untuk mendekati wajahnya.
            “Aku tidak perlu menjawabmu dengan hanya bibir ini yang berucap. Seluruh tubuhku juga ingin mengatakan Ya, Justin,” ujarku melingkar tanganku pada lehernya dan mulai mengecup bibirnya. Air mataku masuk ke dalam mulutnya. Sialan. Aku tertawa.
            “Sekarang, apa kau ingin aku memakaikan cincin ini di jari manismu yang cantik itu?” tanyanya tersenyum sumringah. Kuanggukan kepalaku dan menyodorkan tangan kiriku pada. Ia mulai memasukan cincin itu pada jari manisku. Aku tersenyum bahagia. Ia langsung melemparkan kotak cincin itu ke segala arah. Aku juga tidak peduli dengan kotak itu. Justin. Aku membutuhkan Justin. Seluruh tubuh, jiwa, dan cintanya.
            “Sekarang, kau adalah bagian dari Bieber. Kimberly Alexis Bieber. Nama yang sempurna.” Ujarnya mengecup bibirku, kemudian ia mendorong tubuhku ke belakang sehingga aku tertidur di atas tempat tidur. Ciumannya sangat dalam.
            “Alexis Bieber.” Ulangnya sekali lagi. Oh, aku sangat mencintaimu Justin.
            “Aku mencintaimu, Justin,”

            “Kau tidak tahu, aku mencintaimu lebih dari rasamu padaku.” Balasnya tertawa dan kembali mencium bibirku. Lalu aku tersesat!



:D

2 komentar:

  1. Waw.. jadi berasa baca dan ngeliat backstage fifty shades of grey :D
    Keren keren banget malah.. salut sama authornya
    Semangat terus berkaryanya... :D

    BalasHapus
  2. Keren bgt min , krna nisa cuma punya 4 jempol nisa kasih 4 jempol buat admin ..
    The bestttt ..

    BalasHapus