Sabtu, 21 Desember 2013

Right Mistakes Epilog




EPILOGUE

FAITH

            Waktu membuktikan bahwa aku memang mencintainya. Hanya mereka berdua yang kucintai di dunia ini. Memiliki mereka seolah-olah Tuhan memang membiarkanku hidup dalam surga dunia. Aku melipat bibirku ke dalam, memerhatikan mereka yang sedang bermain. Suami dan anakku. Mungkin memang anakku tidak sesempurna anak-anak yang lain. Ia keterbelakangan mental. Bagiku itu adalah cobaan dari Tuhan yang indah. Aku tidak melihat sisi buruknya. Mungkin Tuhan memiliki maksud tersendiri. Ketika anak pertamaku lahir, aku memang sedikit terkejut dengan keadaannya. Ia tidak bisa melakukan hal yang anak lain lakukan. Ia belum bisa, lebih tepatnya. Dokter memberitahu padaku bahwa ia mengalami keterbelakangan mental. Awalnya aku sedih. Begitupun dengan suamiku sekarang, Justin. Kami melewati masa-masa kritis di awal pernikahan kami. Justin tampaknya tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya keterbelakangan mental. Tetapi yang terpenting dari pernikahan adalah kepercayaan dan kesabaran, itu bagiku. Jadi, tiap harinya aku yang mengurus Christopher tanpa kehadiran Justin. Justin hanya berada di rumah malam hari dan segera tidur. Di hari libur, ia berusaha menjauh dari Christopher. Satu tahun telah berlalu. Hubungan pernikahan kami semakin membaik.
            Justin mulai terbiasa dengan Christopher. Justru ia lebih memilih bersama dengan Christopher dibanding pekerjaannya. Aku menelaah mengapa Tuhan memberikan kami anak seperti Christopher. Setelah dua tahun berlalu, Christopher telah menginjak umur ketiga, aku baru menyadari segalanya. Keadaan Christopher membuat hubungan kami semakin dekat. Aku dan Justin jarang bertengkar karena Christopher selalu memanggil Justin untuk bermain dengannya. Sehingga ketika kami akan bertengkar, anak itu yang menjadi penengahnya. Ia menghalangi kami dari pertengkaran.
            Tinggal di London memang cocok untuk Christopher. Rumah yang besar dan taman yang luas. Christopher sudah bisa berjalan sekarang, mungkin memang terlambat ia baru bisa berjalan di umur yang ketiga, tapi tidak apa-apa. Dari pada ia tidak bisa berjalan sama sekali? Christopher memiliki mata cokelat madu seperti ayahnya. Ia tampan, bagiku dan Justin. Ia anak baik. Dan aku benar-benar mencintainya. Sebentar lagi, Christopher akan menjadi kakak yang baik. Aku sedang mengandung anak kedua kami. Ini sudah memasuki bulan yang ketujuh. Dua bulan lagi aku akan melahirkan. Kali ini, aku mengandung bersama dengan pria yang kucintai. 
            Justin Lexise. Ada perasaan bahagia ketika kami mengucapkan janji suci di hadapan Tuhan di gereja agar kami akan hidup bersama sampai maut memisahkan kami. Nilai tambahnya adalah dia sudah menjadi milikku. Tiap pagi aku melihatnya saat aku terbangun dari tidurku. Dan hanya aku yang bisa menyentuhnya. Mungkin pertemuan kami memang bukan hal yang wajar, tetapi lihatlah sekarang. Aku terbaring di atas kursi santai yang panjang, di belakang halaman rumah kami dan tersenyum bahagia memerhatikan Justin bermain bersama dengan Christopher. Dua orang yang paling kucintai di dunia.
            “Ny. Lexise,” aku dikejutkan oleh suara lembut dari salah satu perawat Christopher. Aku terperanjat dari tempatku dan langsung memalingkan kepalaku padanya. Kulihat di tangannya segelas susu cokelat untukku. Aku langsung meraihnya dan menggumamkan kata terima kasih. Kuteguk susu cokelat ini hingga menyisakan setengah gelas. Justin mendongak ke arah kami ketika ia sedang menggelitiki Christopher dan lalu ia menggendong Christopher. Kakinya yang panjang itu berlari ke arah kami dan ia tersenyum. Sejak kami menikah, Justin terlihat lebih bahagia. Ia tidak berbahaya seperti dulu. Meski ia memang posesif. Ketika Joe datang ke rumah kami untuk bermain bersama dengan Christopher, Justin langsung mengusirnya dari rumah kami. Sebenarnya, aku juga sadar betul bahwa Christopher masih menyukaiku, tapi yang benar saja, Justin tidak perlu mengusir Christopher. Kabarnya dua bulan terakhir ini Joe telah memiliki kekasih. Dan Mozes, dia juga sedang menjalin sebuah hubungan dengan salah satu pelayan di restorannya. Ya, dia akhirnya memiliki restoran sendiri yang dibantu oleh Justin. Atau lebih tepatnya, Justin memiliki sebuah restoran, lalu ia memberikannya pada Mozes secara cuma-cuma.
            “Hei,” sapa Justin dengan suara lembut. Ia membuyarkan lamunan sehingga aku langsung menoleh padanya yang sudah berbaring di sebelahku. Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya mengecup bibirnya singkat lalu menyentuh tangannya yang ia tempatkan di atas perutku. Mataku segera melihat Chirstopher yang sudah bermain bersama dengan perawat kami, Brianna. Dia sudah berada di tangan yang tepat sekarang. Aku selalu takut saat Justin bermain dengan Christopher karena kekuatan tangan Justin benar-benar bertenaga. Hanya saja, aku takut jika Justin meremukkan tangan Christopher kecilku. Kutaruh gelas susu yang masih berada di tanganku ke atas meja bundar di sebelah kursi.
            “Mengapa kau menjadi pendiam hari ini? Tidak seperti biasanya. Ada apa sayang?” Tanya Justin mengelus kepalaku dengan tangannya yang lain. Kepalaku sudah bersandar di bahunya. Oh tubuhku sekarang sudah tidak sama seperti dulu, setelah aku melahir Christopher, tubuhku masih baik-baik saja.Tapi kurasa sekarang berat badanku bertambah.
            “Kurasa anak kedua kita akan menyisakan lemak di perutku,” ucapku terkekeh. Justin memerhatikanku, ia tidak melepaskan pandangannya dariku yang artinya dia membuatku sedikit malu. Mengapa aku harus malu ketika aku sudah menjalin hubungan suami istri dengannya selama tiga tahun? Ia tidak ikut tertawa denganku, justru wajahnya serius. Jika seperti ini, pasti ia akan menceramahiku. Selama kami menikah, Justin lebih dewasa dan tentunya lebih tampan.
            “Aku tidak peduli jika kau gemuk nanti. Aku akan tetap bersamamu. Mengapa kau harus berpikir sampai ke sana? Kebahagiaan bukan diukur dari kecantikanmu, kau tahu itu?” Tanya Justin. Aku tak berani menatapnya, ia meraih daguku dengan ibu jari dan telunjuk lalu mengangkatnya. “Kau dengar aku, Ny. Lexise?” Tanyanya dengan suara yang seksi namun tegas. Aku mengangguk. Sedetik kemudian ia mengecup bibirku begitu lama.
            “Sebenarnya, kau satu-satunya orang yang memberikanku kebahagiaan penuh. Di saat orang lain berusaha untuk membuatku terpukau, kau masuk ke dalam hidupku dengan apa adanya. Tidak menyukai mawar seperti wanita-wanita lain. Di saat yang lain memakai gaun pendek di bawah bokong mereka, kau hanya memakai celana jins dan kaos berwarna putih. Lalu, di saat yang lain membiarkan aku memutar lagu kesukaanku, kau meminta lagu kesukaanmu –yang menurut orang lain pasti kau tidak sopan. Dan dikala yang lain tidak datang ke perpustakaan, kau datang ke sana dan berbicara dengan kakekku. Dan lebih parahnya lagi, kau memakan kue cokelatnya! Tapi itulah dirimu. Kau memperlihatkan dirimu yang sebenarnya padaku tanpa ada sandiwara sedikitpun. Lalu aku berpikir ketika kau bertingkah apa adanya, sebenarnya, apa yang bisa kaulakukan untuk membahagiakanku? Well, saat aku mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi denganmu, aku sadar. Aku sadar bahwa kau datang ke dalam hidupku dengan apa adanya dirimu. Sederhana. Mudah dicintai tapi tidak mudah dilupakan. Mengapa kau harus malu kalau kau gemuk nantinya? Aku tidak peduli dengan ucapan orang yang mengatakan hal-hal buruk tentangmu. Mereka tidak tahu dirimu seperti aku mengetahui dirimu. Nah, mengapa kita tidak menjalani kehidupan ini dengan apa adanya?” Aku terpana dengan apa yang ia katakan. Meski ucapannya mengembalikan memori kematian Florek di tangannya. Tapi itu sudah berlalu. Justin bukanlah pria yang jahat lagi.
            “Aku sekarang berada di sampingmu setelah aku memakan kue cokelatnya. Tidak ada yang salah dengan kue cokelat itu, kau tahu,” aku mendengus. Justin terdiam. Mungkin ia mengingat apa yang telah ia perbuat pada kakeknya sendiri. Ia yang membunuh kakeknya sendiri. Tangan kiriku mulai mengelus kepalanya, rambutnya benar-benar lembut, aku senang menghirup wangi rambutnya di malam hari.
            “Kalau begitu, terima kasih karena sudah mencintaiku apa adanya diriku. Sekali lagi, aku beruntung telah memilikimu. Okay? Apa kita sudah selesai?” Tanyaku tersenyum. Akhirnya, senyumannya mengembang. Ia mengangguk lalu Justin mendekatkan bibirnya pada bibirku. Kubuka mulutku, ia mulai mengapi bibir atasku dan mengisapnya hingga aku mendesah kecil. Aku juga tidak mau kalah –sebelum aku hamil anak kedua kami, aku sudah menjadi ratu di atas ranjang—jadi aku membalas hisapan bibirnya. Bunyi cepakan dari bibir kami terdengar ketika bibir kami saling lepas, aku tersenyum.
            “Selalu bisa membangkitkan gairahku,” komentar Justin, ia menghela. “Sialnya, aku harus menunggu dua bulan lagi,”
            “Aku yakin kau bisa menunggunya,” ucapku mengelus pipinya. Ia memejamkan matanya, tangannya memegang tanganku yang ada di pipinya lalu menariknya. “Ada apa?”
            “Jika kau melakukan itu, kurasa aku bisa menyetubuhimu 30 menit sebelum kau melahirkan,”
            “Oh, kau sangat jahat Justin!” Teriakku memukul dadanya dan tertawa. “Oke, tapi kurasa aku harus buang air kecil,” ucapku. Justin segera bangkit dari tempat duduk lalu menolongku untuk bangkit. Saat berdiri, aku merasakan kelegaan yang tiada tara pada pinggangku. Oh, ya ampun, nyaman sekali. Sekarang kakiku yang akan menahan tubuhku. Justin menolehkan kepalanya ke belakang ketika ia mendengar suara tangisan Christopher. Ia berlari menuju Christopher lalu menggendongnya. Tangisan Christopher berhenti begitu saja. Yeah, benar sekali, Christopher lebih dekat dengan Justin dibanding denganku. Mungkin karena selama setahun penuh aku bersama dengannya sebelum Justin benar-benar menerimanya. Justin berlari ke arahku dan tangannya yang lain memegang tanganku. Inilah aku. Seorang yang awalnya menjadi resepsionis sebuah hotel dan menjalin hubungan dengan seorang pengusaha kaya karena ibuku memiliki perjanjian dengannya, lalu putus selama beberapa bulan dan kembali lagi menjadi sepasang suami-istri. Aku mendapatkan pria yang kucintai dan ia mencintaiku apa adanya. Awalnya aku berpikir, mencintainya adalah kesalahan terbesarku. Ternyata, kesalahan itu adalah anugerah untukku. Aku tersenyum ketika memasuki rumah kami lalu aku berhenti di tempat untuk sesaat. Tanganku langsung menarik wajah Justin, mengecup bibirnya, membiarkan bahwa kecupan ini menjadi bukti bahwa dia sepenuhnya milikku dan ia mencintaiku.

            Bukankah hidup ini adil? Untuk melihatnya, kita harus memakai kacamata yang pas.





5 komentar:

  1. Anjirrr, justin jadi pinter ceramah, kapan gue diceramahin ya? *ngarep banget

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. awwwwwww i lope your story kakak ren

    BalasHapus
  4. Waw.. speechless
    Really love your story

    BalasHapus