CHAPTER
SEVENTEEN
Lord Moore sangat benci bila ia
menemukan dirinya tidak melakukan apa pun selain berbaring di atas tempat
tidur. Ia memikirkan pekerjaan-pekerjaannya yang belum terselesaikan. Dan
terutama, Grisell. Ia benci tidak bisa memerhatikan Grisell yang harus menemani
Mildred selama season berlangsung. Ia
tidak bisa melihat apa yang Grisell lakukan selama ia tidak ada. Sudah tiga
hari, sejak Grisell mendatanginya, ia terus meminum obat-obatan sialan itu dan
mengganti-ganti perban beberapa kali. Lukanya memang dalam—tapi untungnya tidak
melukai salah satu organ tubuhnya—dan Lord Moore memang belum boleh melakukan
apa pun yang berat. Dokter menganjurkan untuk tetap di tempat tidur sampai Lord
Moore benar-benar pulih, tapi sungguh, itu bukan yang Lord Moore inginkan.
Kesengsaraan Lord Moore bertambah
saat Grisell lebih galak dibanding dokter yang menanganinya. Calon istrinya
selalu panik bila Lord Moore belum makan atau belum meminum obatnya. Bahkan
Grisell pernah memarahi Lord Moore saat pria itu berusaha menambah kayu di
perapian—demi Tuhan, kayu-kayu itu hanya perlu didorong dengan tongkat. Tapi
Grisell tidak menerima alasan apa pun. Dan yah, Lord Moore berakhir kembali di
atas tempat tidur sambil membaca sebuah buku filosofi.
Pendengarannya menajam saat ia
mendengar suara langkah kaki terburu-buru, yang makin lama semakin dekat menuju
pintu kamarnya. Pria itu menurunkan buku yang ia baca ke atas pahanya kemudian
melihat ke pintu. Seperti dugaannya, pintu itu terketuk. Ia menggumam,
mempersilakan siapa pun itu masuk. Ternyata Mildred. Adiknya yang berambut
hitam itu menutup pintu kamarnya kemudian berjalan mendekatinya.
“Ada apa, Adikku Sayang?” Tanya Lord
Moore. Mildred tidak segera menjawab. Ia duduk di sisi tempat tidur Lord Moore.
Rambut adiknya disanggul sedemikian rupa hingga menjadi sanggulan yang cantik.
Dan jika Lord Moore perhatikan, pinggul adiknya ternyata lebih besar dibanding
terakhir kali Lord Moore lihat. Mungkinkah adiknya sedang… jika memang benar,
ia akan menjadi paman. Mildred menunduk, melihat jemari yang ia mainkan. “Apa
ini tentang Grisell atau tentangmu?”
“Dua-duanya, sebenarnya,” kata
Mildred mengangkat tatapannya pada pria itu. Mendengar nama gadisnya, Lord
Moore segera waspada. Dia memohon agar tidak ada kejadian buruk terulang
kembali. Pertama, ia tidak ingin kehilangan Grisell. Kedua, ia tidak ingin
tertusuk untuk yang kedua kalinya—bukan karena ia tidak ingin melindungi
Grisell, ia benci masa-masa pemulihannya.
“Yah, ada apa dengannya? Apa dia
baik-baik saja?” Tanyanya sarat kekhawatiran.
“Dia, awalnya, baik-baik saja.
Sampai akhirnya… dia mendatangi Lady Henrietta di kediaman wanita itu. Begitu
ia pulang, aku melihat luka di lengannya. Tidak besar memang, tapi tetap saja
itu menjadi masalah. Grisell bercerita padaku kalau ia ingin mengunjungi Lady
Henrietta—karena Lord Myhill memberitahunya kalau Lady Henrietta berusaha bunuh
diri namun gagal—untuk mengajukan permintaan maaf. Entah ia meminta maaf untuk
apa, tapi kuduga Lady Henrietta sudah...”
“Gila?”
“Aku tidak bilang begitu. Tapi
kurasa kau benar. Dan Grisell berkata padaku untuk tidak memberitahumu tentang
ini. Dan kau tahu aku tidak bisa menjaga rahasia dengan baik—oh Tuhan, itu
memang kelemahanku—dan berjanjilah padaku untuk tidak membahas tentang ini atau
memarahinya. Apa kau mengerti?”
“Aku tak berjanji, tapi akan
kuusahakan,” ucap Lord Moore mengembus nafas panjang. Ia ingin sekali memukul
bokong Grisell sampai merah karena kenakalan wanita itu. Tapi sungguh, sekarang
bukan waktu yang tepat untuk memikirkan bagaimana cara agar Grisell tidak
bertindak bodoh seperti itu lagi. “Dan tentangmu?”
Raut wajah yang khawatir dan ragu
itu seketika hilang. Bibir merah muda Mildred tersenyum begitu saja. “Aku
hamil,” katanya memegang perutnya sendiri lalu menekan pakaiannya sehingga
bentuk perutnya yang bulat itu kelihatan.
“Mildred! Selamat atas kehamilanmu,”
ucap Lord Moore menyingkirkan buku di atas pangkuannya kemudian bergerak ke
depan untuk memeluk adiknya. Luka di pinggangnya berdenyut-denyut begitu saja,
tapi tidak membuat Lord Moore mengerang. “Sungguh berita yang sangat
membahagiakan,”
Mildred membalas pelukan kakaknya
kemudian menarik diri. Lord Moore kembali bersandar di kepala tempat tidurnya,
memerhatikan adiknya. Pantasnya pinggulnya lebih besar. Senyum Mildred
seolah-olah tidak akan pernah hilang. “Aku tahu. Oh, ya ampun, sebentar lagi
aku akan menjadi Ibu dan kau akan menjadi Paman,”
“Apa Lord Paston sudah tahu?”
“Tentu saja dia orang pertama yang
kuberitahu! Dia kegirangan, kau harus melihat reaksinya,” katanya begitu
senang. Lord Moore memerhatikan adiknya terdiam beberapa saat, dan lalu seperti
terhantam sesuatu di kepalanya, adiknya berdeham, ragu. “Dan soal Lord Myhill
dan Bridget…”
“Kupikir hanya tentang Grisell dan
kau,” ucap Lord Moore terdengar sarkastik, tapi sungguh ia tidak bermaksud.
Mildred mengabaikan nada sarkastik itu lalu wanita itu mendesah nafas panjang
seolah-olah enggan membicarakan tentang Lord Myhill dan adiknya. Tapi harus ada
seseorang yang menyelamatkan situasi ini. Dan itu bukan dia—sudah jelas. Hanya
Lord Moore yang dapat menyelesaikan masalah ini. Sejak Lord Myhill mengejek
kakaknya di ruang kerja hampir seminggu yang lalu, Bridget selalu jengkel jika
ada seseorang memuji Lord Myhill. Bahkan mendengar nama pria itu disebut,
Bridget pasti akan selalu memutar bola matanya. Tapi penyakitnya yang belum
berhenti sampai sekarang adalah ia selalu melukai tangannya bila merasa
jengkel, gelisah atau ragu. Kemana pun Bridget pergi, tangannya harus dilapisi
dengan sarung tangan tebal. Dan beberapa bulan terakhir ini, luka tangan
Bridget berkurang sampai akhirnya gadis itu bertemu dengan Lord Myhill. Tangan
Bridget harus diperban. Bukan apa-apa, tapi sepertinya Bridget harus tetap
berada di dalam kamarnya agar ia tidak mendengar nama Lord Myhill.
Bagaimana mungkin nama itu tidak
disebut di dalam percakapan orang London—atau Cheshire? Pria itu sangat
terkenal akan ketampanannya dan gelarnya sebagai viscount yang berdompet tebal. Dan entah mengapa tiap bajingan di
London bertingkah, bukannya dijauhi oleh para gadis perawan, tapi pria itu malah
selalu didatangi wanita-wanita. Jadi wajar saja jika nama pria itu
disebut-sebut dalam percakapan wanita.
“Ada apa dengan Bridget?” Tanya Lord
Moore setelah lima menit pernyataannya tidak dibalas apa pun. Mildred
mengerjap-kerjapkan matanya, sadar dari lamunannya.
“Mereka berdua tidak pernah akur,”
ucap Mildred dengan prihatin. “Bridget tidak pernah menyukainya sejak Lord
Myhill menghinamu. Dan Lord Myhill sepertinya meladeni sikap Bridget yang
defensif. Kau harus melakukan sesuatu,”
Kedua alis Lord Moore terangkat.
“Aku? Kisah cinta—maksudku, peperangan di antara mereka mungkin akan mereda
jika salah satu di antara mereka melambaikan bendera putih. Begini saja.
Mildred akan menetap di Cheshire dan kau boleh membawa Hope ke rumahmu di
London. Aku tahu Lord Myhill akan kembali ke London setelah season selesai. Nah, sekarang kau
beritahu Bridget,”
“Kau benar. Bridget memang tidak
menyukai London, ia bilang sangat bising dan udaranya tidak segar—oh, aku
sangat lelah menangani Bridget,” ucap Mildred lebih pada diri sendiri dibanding
kakaknya. Mildred bangkit dari sisi tempat tidur Lord Moore, lalu melangkah
menuju pintu dan membukanya. “Selamat malam, My Lord.” Lalu pintu kamarnya
tertutup.
Cahaya dari jendela kamar Lord Moore
semakin lama semakin menggelap. Malam sudah menjemputnya dan sepertinya ia
tidak bisa berdiam terus di kamarnya, menunggu dirinya menjadi gila. Jadi ia
bangkit. Persetan dengan anjuran dokter! Ia tidak mungkin melewatkan season yang ia buat sendiri sampai season berakhir—meski ia tidak menyukai season. Pria itu bangkit dari tempat
tidurnya, lalu menarik tali bel untuk memanggil pelayan agar menyiapkan air
hangat untuk ia mandi.
Tapi sejujurnya, ia tidak hanya
ingin kembali melihat season. Ia
ingin bertemu dengan Grisell dan melihat keadaannya.
***
“Kau keluar dari kamarmu,” ucap
Grisell terperangah, tidak percaya. Wanita itu mengerjap-kerjapkan matanya
beberapa kali seolah-olah ia melihat keajaiban. Lord Moore seketika diserbu
oleh para tamu saat ia turun melalui tangga besar dan menghujani pria itu
dengan pertanyaan-pertanyaan omong kosong. Sungguh, bagaimana mungkin orang
Inggris dapat hidup dalam kemunafikan? Lord Moore sebisa mungkin menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dengan sopan. Tapi tujuan utama ia turun kembali ke
acara adalah melihat tunangannya. Dan yah, ia mendapati Grisell sedang berdiri
berbicara dengan Lord Myhill—sepertinya status Grisell sebagai adik Lord Myhill
belum diketahui oleh para tamu, untungnya.
Orang-orang kembali berbaur setelah
Lord Moore mengundurkan diri untuk bertemu dengan kekasihnya. Grisell memakai
sarung tangan panjang hingga siku berwarna putih, guna untuk menutupi lukanya,
pikir Lord Moore. Oh, wanita itu tidak akan bisa lari dari Lord Moore sebelum
ia mengaku bagaimana bisa ia mendapat luka di tangannya. Jadi Lord Moore
mendatangi Grisell, berdeham sedikit kemudian Grisell berbalik. Kau keluar dari kamarmu, ucapan itu
terdengar sangat aneh. Bukan seperti yang Lord Moore harapkan sejak ia
memutuskan untuk turun. Ia pikir, ia akan dimarahi oleh Grisell di tengah-tengah
kerumunan. Ternyata Miss Gillbride berhasil mengajar Grisell.
“Ya, aku keluar,” ucap Lord Moore
mengulang. Ia memerhatikan Grisell dari bawah hingga atas. Gaun berwarna merah
gelap sangat pas untuk seorang Grisell. Di warna yang gelap seperti ini, Grisell
kelihatan lebih berani, bukan polos seperti biasanya. Ia seperti seorang… Lady.
Keinginan Lord Moore sejak ia membawa Grisell ke Cheshire. Ya, benar sekali,
Grisell-nya telah menjadi Lady yang sangat anggun. “Kau sangat menawan, Miss
Parnell,”
“Wah, pujian klise,” ucap Grisell
sangat mengejutkan Lord Moore dengan kosakata yang belum pernah Grisell katakan
sebelumnya. Benarkah ini Grisell atau ternyata selama ini ia tidur selama dua
minggu dan bangun tapi Grisell mengatakannya kalau ia baru terbaring di atas
tempat tidur selama 5 hari? Ia tidak yakin. “Tapi terima kasih, My Lord. Aku
sangat menghargainya,”
“Kupikir kau boleh keluar dari kamar
seminggu atau dua minggu lagi,” sela Lord Myhill mengganggu. Lord Moore segera
menatap pria itu kemudian mengembus nafas panjang.
“Aku harus keluar dari sana sebelum
aku jadi gila,” ucap Lord Moore tanpa ada nada bercanda. Namun tiba-tiba
Grisell tertawa hingga ia menepuk lengan Lord Moore.
“Oh, Tuhan. Aku sangat menunggu
saat-saat itu,” ucapnya di sela-sela tawanya. Grisell kemudian menatap Lord
Myhill. “Tidakkah kau menunggu saat-saat Lord Moore seperti itu?” Tanya
Grisell. Entah mengapa sepertinya Lord Moore apa yang sedang Grisell lakukan.
“Miss Parnell, dengan segala
permohonan maaf atas pertanyaannya ini, tapi sungguh, mengapa kau tiba-tiba
bersikap aneh?” Tanya Lord Myhill tidak sepenuhnya merasa bersalah. Mata
Grisell mengerjap-ngerjap aneh, membuat wanita itu seketika kebingungan. Ia
menatap Lord Moore kemudian Lord Myhill secara bergantian. “Miss Parnell, apa
kau baik-baik saja?”
“Tentu saja,” ucap wanita itu
menelan ludah.
“Bisakah aku berbicara berdua saja
dengan tunanganku?” Tanya Lord Moore pada kakak Grisell. Pria itu hanya
mengangguk, lalu membungkuk memberi hormat pada Grisell, dan menghilang dari
pandangan mereka berdua. Suasana di ruang dansa sepertinya tidak seperti yang
diharapkan Grisell—sejak kedatangan Lord Moore ke ruang dansa, segalanya
berubah. Wanita itu menunduk-nunduk tak berani melihat kekasihnya. Bagaimana
mungkin Lord Moore tiba-tiba saja turun ke bawah setelah Grisell mendapat luka
dari Lady Henrietta? Grisell berpikir… tidak mungkin Mildred memberitahu
kakaknya karena wanita itu sudah berjanji untuk tidak memberitahu Lord Moore.
“My Lord, tidakkah ruang dansa
terlalu bising?” Padahal ruangan itu tidak bising sama sekali. Hanya terdengar
musik halus dan suara orang berbicara dengan normal di sana. Lord Moore
mengangkat kedua alisnya. Tidak menjawab, pria itu mengaitkan lengan Grisell ke
lengannya. Saat lengan itu disentuh, Grisell meringis pelan.
“Apa aku menyakitimu, Miss Parnell?”
Tanya pria itu serius. Sungguh, Lord Moore sebenarnya ingin tertawa
terbahak-bahak melihat raut wajah Grisell yang ketakutan. Tapi ia menutupi
segala perasaannya begitu luar biasa.
“Tidak, My Lord. Kemanakah kita akan
pergi?”
“Hanya ke ruang duduk, jika kau
mau,”
“Bagaimana kalau ruang kerjamu?
Tidak ada siapa pun berani ke sana selain dirimu dan adik-adikmu,” ucap Grisell
menelan ludah. Lagi.
“Jika itu keinginanmu,” ucap Lord
Moore tersenyum kecil. Oh, ini akan sangat menyenangkan. Pria itu melewati
kerumunan orang dan sesekali berhenti untuk meladeni orang-orang yang
mengajaknya berbicara. Bahkan beberapa di antara mereka ingin mendengar detail
bagaimana Lord Moore dapat menyelamatkan Grisell dari si penculik. Dan beberapa
di antara mereka—mantan simpanan Lord Moore—memberitahu bagimana keadaan
Henrietta. Saat nama Henrietta disebut, Lord Moore dapat melihat wajah Grisell
seketika menegang.
“Dia kelihatan begitu buruk,” ucap
Lady Friswell, salah satu mantan simpanan Lord Moore yang berambut merah, pada
Lord Moore. “Dan dia terus menyebut nama Miss Parnell di kamarnya. Oh, My Lord,
dia sangat tidak sehat,”
“Yang kudengar seperti itu,” ucap
Lord Moore dengan bijaksana, tidak ingin berkomentar apa pun.
“Dan kukira Miss Parnell baru saja
mendatangi Lady Henrietta tadi pagi?” Kali ini bukan Lady Friswell yang
bersuara, tapi Lady Shovell, ratu gosip. Lord Moore harus akui, ia tidak
menyukai sifat Lady Shovell yang sangat suka bergosip, tapi jika wanita itu di
atas tempat tidur, Lady Shovell sangat hebat. Dan malam ini, wanita itu memakai
gaun berpotongan dada rendah sehingga buah dadanya yang besar seolah-olah akan
tumpah dari gaun itu. Untungnya Lady Shovell masih tahu diri untuk tidak
menjadikan dirinya sebagai bahan gosip, jika wanita itu sekali saja menyinggung
tentang hubungan mereka di masa lalu… tapi wanita itu tidak akan melakukannya.
Wanita itu mungkin lebih memilih mati dibanding harus menjadi bahan gosip.
Lord Moore menoleh menatap tunangannya.
Grisell merasa dirinya menciut begitu saja. Oh,
ya ampun, mengapa harus sekarang? Lord Moore pasti akan memarahinya. Wanita
itu menyembunyikan kegugupannya cukup bagus—menurut Miss Gillbride jika wanita
itu ada di sana—lalu mengangguk. “Benar sekali. Tadi pagi aku mendatanginya,
dan kupikir ia sudah membaik,”
“Oh, astaga, sarung tangan panjang
itu sangat indah, Miss Parnell!” Puji Lady Shovell mengubah topik pembicaraan
secara tiba-tiba, tapi Tuhan tahu apa tujuan Lady Shovell mengatakan itu. Lord
Moore menarik nafas panjang, ia tidak akan membiarkan Lady Shovell
mempermalukan Grisell di depan semua orang. “Baru kali ini aku melihat—“
“Beribu maaf, Lady Shovell dan Lady
Friswell, tapi aku dan Miss Parnell memiliki urusan yang harus melakukan
pertemuan penting,” ucap Lord Moore tersenyum singkat kemudian membungkuk.
Mulut Lady Shovell masih terbuka, terkejut karena pria itu tiba-tiba saja
menyelanya dan sekarang pria itu sudah beranjak pergi darinya. Lady Shovell tidak dapat menyalahkan siapa
pun atas ketampanan dan kebugaran yang dimiliki Lord Moore. Pria itu memang
sangat tampan untuk seorang bangsawan. Biasanya ia akan menemui bangsawan
genduk, berkumis dan botak. Tapi siapa pun tahu, Lord Moore pria yang paling
langka di Inggris. Dan mungkin hanya terdapat1 atau 2 orang yang sepertinya.
Lord Moore membuka pintu ruang
kerjanya kemudian ia mempersilakan Grisell masuk ke dalam. Beberapa detik
kemudian, mereka berdua sudah berada di
dalam ruang kerja. “Mengapa kau keluar dari kamarmu?” Sembur Grisell sebelum
Lord Moore sempat membuka percakapan lebih dulu.
“Aku ingin bertemu denganmu,”
katanya lembut. Sederhana, tapi berhasil membuat kekhawatiran Grisell
menghilang. Wanita itu kembali datang menghampiri Lord Moore lalu memeluk pria
itu. Luka di pinggangnya tertekan oleh lengan Grisell dan pria itu menarik
nafas tajam. Bukannya mendorong wanita itu, Lord Moore memeluk Grisell.
“Kau seharusnya tidak ada di sini.
Tidak sampai kau sudah sembuh, Justin,” ucap Grisell kurang jelas karena
suaranya teredam oleh pakaian Lord Moore. Wanita itu menarik tubuhnya dari Lord
Moore, berjalan cepat-cepat menuju jendela. “Kau pasti bertanya-tanya mengapa
aku memakai sarung tangan panjang ini,”
“Sayangnya, kau benar,” ucap Lord
Moore tetap berdiri di tempatnya. Ia memerhatikan Grisell yang berdiri dengan
gelisah. Tangan kanan wanita itu mengelus-elus lengan kirinya, lalu
perlahan-lahan Grisell membuka sarung tangan kirinya. “Mengapa aku tidak tahu
kau pergi ke rumah Lady Henrietta?”
“Karena aku tahu jika aku meminta
izinmu, kau tidak akan mengizinkanku pergi ke sana,” ucap Grisell gemetar. Lord
Moore melangkah perlahan-lahan ke arah Grisell, lalu mengembus nafas pendek.
“Tentu saja, aku tidak akan
mengizinkanmu, Sayang. Lady Henrietta berusaha membunuh dirinya sendiri setelah
ia mengirimkanmu pada si Bajingan Jacoby. Dia membencimu sampai
mendarah-daging—“
“Karena itulah aku datang ke
rumahnya!” Seru Grisell berbalik. “Aku ingin dia tidak membenciku. Aku ingin
meminta maaf jika aku merebutmu darinya. Aku tidak bisa hidup dalam keadaan
bersalah. Ini semua salahku. Jika aku tidak menerimamu, sudah jelas semua ini
tidak akan terjadi. Nathan tidak akan datang ke sini. Kau pasti tidak akan
terluka. Lady Henrietta tidak akan bunuh diri. Dan aku tidak perlu
mempermalukanmu di hadapan semua orang karena aku hanya seorang pelacur,” jelas
Grisell membuat Lord Moore terdiam. Wanita itu menunduk, lalu terisak.
“Grisell,” ucap Lord Moore
mendatanginya, kemudian merangkul wanita itu dengan dua tangannya. “Ini bukan
salahmu,”
“Tapi itu salahku, oh ya Tuhan!”
Wanita itu berseru, lalu terisak. Lord Moore menempatkan dagunya di atas kepala
Grisell. “Tidakkah kau mengerti? Aku hanya beban bagi semua orang. Pertama
Ibuku, kemudian Bibiku, lalu sekarang kau. Siapa lagi selanjutnya?”
“Lihat aku,” perintah Lord Moore
tegas. Tapi Grisell tidak mendongak, ia masih menunduk, menyandarkan keningnya
di dada pria itu. “Brengsek. Lihat aku, Grisell,” perintah pria itu sekali
lagi, kali ini terdengar pria itu akan mengancam jika Grisell tidak mendongak.
Wanita itu mendongak, menatap Lord Moore yang ternyata menatapnya dengan
lembut. Oh, pasti aku sangat jelek
sekarang, ujar Grisell dalam hati. Dua mata biru berkaca-kaca dan Tuhan
tahu bagaimana perasaan Lord Moore tentang itu. Ia tidak bisa melihat seorang
wanita menangis. Ia hanya… tidak tahu bagaimana harus menanganinya.
“Kau adalah hal terbaik yang terjadi
dalam hidupku, Grisell,” ucap Lord Moore pelan, sederhana, dan dalam. Senyum
Grisell perlahan-lahan mengembang lalu ia tertawa pelan.
“Lord Moore—oh kau sangat berbeda.
Di saat pria lain akan termakan godaan mautku, kau malah menyuruhku menjauh dan
tidak menyentuhku. Apa maumu sebenarnya? Karena sungguh, sekarang aku sangat
ingin kau meniduriku,” ucap Grisell tidak berhenti tersenyum. Lord Moore
mengelap air mata Grisell dengan kedua ibu jarinya hingga pipi itu benar-benar
kering. Andai saja Grisell tahu bagaimana wanita itu selalu membuatnya
bergairah setiap saat. Bahkan saat melihat Grisell saja, pria itu tidak bisa
diam—dan harus memikirkan hal lain seperti pekerjaannya. Senyum Grisell
menular. Pria itu tersenyum lebar lalu mengecup bibir Grisell singkat.
“Dimana kau ingin aku menyentuhmu?”
“Di seluruh tubuhku, tentu saja!”
Wanita itu berseru kegirangan, seperti mendapatkan permohonannya selama ini.
Perubahan suasana hati yang sangat tiba-tiba.
“Dan dimana kau ingin kita
melakukannya?”
“Tidakkah meja kerjamu merupakan
tempat pertama kita benar-benar berciuman? Aku ingin kau menyelesaikannya di
sana,” ucap Grisell menggoda. Wanita itu mengerling, memberinya tatapan nakal
lalu menarik leher Lord Moore. Pria itu pikir mereka akan berciuman, tapi
Grisell ternyata hanya mempermainkannya. “Kau menginginkanku, bukan?”
“Ya, ya. Aku sangat menginginkanmu,
My Lady,” ucap Lord Moore sepenuhnya dikendalikan oleh nafsu. Grisell
melepaskan kepala Lord Moore lalu ia menarik kemeja Lord Moore sambil berjalan
menuju meja kerja pria itu. Wanita itu menyingkirkan segala benda di atas meja
itu dalam satu kali sapuan tangan, lalu ia melompat duduk di sana. “Kau harus
mengganti rugi apa pun yang kau hilangkan,”
“Akan kutebus dengan ini,” desah
Grisell begitu sensual, lalu wanita itu menarik kepala Lord Moore, mencium pria
itu dengan mesra. Tidak seperti dulu, ciuman ini begitu lembut, pelan dan tidak
terburu-buru. Kedua tangan Lord Moore memeluk pinggang Grisell, menyatukan
tubuh mereka seperti mereka menyatukan mulut mereka. Lidah Lord Moore melesak
masuk ke dalam mulut Grisell, menggoda wanita itu kemudian mengisap bibir bawah
Grisell. “Mengapa tidak kau melakukan ini sejak dulu?” Tanya Grisell di sela
ciuman mereka.
“Karena aku menunggu waktu yang
tepat,”
“Saat season dan dalam keadaan kau terluka?” Tanya Grisell menggoda Lord
Moore.
“Ya Tuhan, Grisell, kau memang
sesuatu yang lain.” Lord Moore tersenyum, tak habis pikir. Kemudian bibir
mereka kembali menyatu.
Sebenarnya Lord Moore ingin memarahi
Grisell, tapi pria mana yang dapat menahan godaan seorang Grisell Parnell?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar